JEPANG adalah negara yang berada di kawasan Asia Timur. Jepang merupakan negeri yang penuh pesona dengan budayanya yang cukup kental. Selain itu, Jepang juga merupakan negeri yang cukup maju dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Jepang sudah sejajar dengan bangsa Eropa Barat sejak awal abad ke-20 silam. Tapi jika ditelisik secara historis, bahwa Jepang pernah menjadi negeri yang terisolasi, tradisional, eksklusif kalau tidak mau dikatakan pernah terbelakang. Itu sebelum restorasi Meiji. Jepang salah satu negeri yang pernah disinggahi kapal-kapal bangsa Eropa, terutama Portugal dan Inggris ketika masih belum di kenal luas seperti sekarang ini.
Namun kondisi berbalik ketika restorasi Meiji terjadi di negeri sakura ini. Anak-anak muda Jepang di kirim ke Eropa. Mereka mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Benar saja, sepulang dari benua biru, mereka memberi warna kehidupan di seantero Jepang. Ilmu pengetahuan memegang peran penting bagi kemajuan Jepang tanpa mereka menepikan budaya leluhurnya.
Segala macam industri di bangun terlebih militer. Buntutnya, Jepang melakukan serangkaian serangan kepada negara tetangga seperti Rusia (Mansyuria), Korea, China hingga ke negeri kita tercinta demi memenuhi bahan baku industrinya.Â
Ketika kawasan Asia Tenggara masih dalam cengkraman kolonialisme bangsa Eropa, Jepang sudah setara bahkan sudah berani membusungkan dada kala berhadapan dengan Amerika Serikat dan Sekutunya. Bahkan Belanda yang nota bene yang katanya menjajah negeri makmur ini selama 350 tahun tidak berkutik menghadapi militer Jepang.
Jepang menjadi salah satu pemeran utama dalam perang Dunia II. Walaupun pada akhirnya Jepang harus bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat ketika Bom Atom meluluhlantahkan dua kota pentingnya yakni Hirosima dan Nagasaki. Jepang hancur. Tidak hanya fasilitas, fisik, tetapi juga psikis dan mental rakyatnya.
Tapi bukan Jepang namanya kalau tidak  bisa bangkit dan kembali menjadi negeri yang disegani. Jepang bisa saja hancur dan kalah perang. Tapi mental untuk bangkit dan maju sudah lama tertanam. Dan Jepang bisa membuktikannya. Kurang lebih dua puluh tahun pasca kekalahan perang Dunia II, negeri ini kembali menjadi bangsa yang maju di berbagai sektor kehidupan, terlebih ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Apa kuncinya?
Kembali pada mental dan kebiasaan. Bisa saja semua hancur, tetapi jika memiliki mental pemenang, maka semesta pun akan menurut. Hal ini bisa terlihat, ketika pengumuman kekalahan, malah kaisar Jepang tidak mempertanyakan berapa jumlah prajurit yang meninggal di medan laga, berapa alat militer yang hancur, serta berapa kekuatan yang masih tersisa. Malah yang ditanyakan adalah berapa banyak guru yang masih hidup.
Luar biasa memang. Seolah kaisar paham betul bahwa guru salah satu sumber ilmu pengetahuan dan bisa menjadi modal penting untuk kembali membawa Jepang bangkit dan menjadi negeri yang disegani. Dan hari ini terbukti.
Apa rahasianya?
Salah satu ciri yang melekat pada orang Jepang adalah tingkat disiplinnya yang tinggi. Di Jepang sangat sulit ditemukan istilah jam karet, pembenaran karena terlambat atau sejumlah alasan lainnya. Orang Jepang sudah terbiasa hadir beberapa menit sebelum pembelajaran di sekolah, begitu juga ke kantor, menunggu kereta datang, ke perusahaan atau pun ketika ada janjian sebelumnya.
Ada banyak cerita orang Indonesia yang pernah kuliah di Jepang mengenai disiplinnya orang Jepang. Salah satu di antaranya cerita seorang professor pasca sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Adalah professor yang disapa Win Poli (alm) oleh mahasiswanya. Ia berkisah ketika menimba ilmu di negeri Sakura. Awalnya ia paham betul bahwa orang Jepang sangat disiplin, sehingga ketika ke kampus ia datang lima belas menit sebelum perkuliahan di mulai, ternyata mahasiswa Jepang sudah ada dalam ruangan kelas.Â
Hal itu dua kali berturut dialaminya, walaupun menurutnya dirinya belumlah terlambat. Namun karena di dahului terus oleh teman-temannya yang mahasiswa Jepang, membuatnya geram terhadap dirinya sendiri. Sehingga di minggu ketiga, ia datang tiga puluh menit sebelum perkuliahan di mulai. Dan beberapa menit mendahului teman mahasiswa Jepang lainnya.
Sungguh disiplinnya orang-orang Jepang. Dan mereka akan merasa malu sendiri jika terlambat, apa lagi harus mencari-cari alasan karena keterlambatan. Sehingga sangat wajar Jepang kembali menjadi negeri yang cukup disegani dengan teknologinya yang luar biasa, karena pola kerjanya sudah membudaya, termasuk mengenai kedisiplinan.
Bagaimana dengan kita yang mendiami negeri bernama Indonesia ini?
Nggak usah panjang lebar di jawab. Sebagai warga negara, kita memang masih terasa sulit untuk bisa disiplin. Memang tidak semua, tapi sudah rahasia umum di negeri +62 ini. Malah kita lebih senang mencari alasan dan pembenaran atas keterlambatan kita. Bahkan tidak sedikit yang marah jika diingatkan. Kata bang Haji Rhoma Irama untuk orang seperti ini. Sungguuuhhh Terrrrlaaluuu.
Bisakah kita seperti Jepang?
Tidak ada yang tidak  bisa, sepanjang kita berkomitmen dan mau berubah. Bukan malah mencari-cari kesalahan orang yang disiplin. Jadi umumnya di masyarakat kita jika ada orang yang rajin dan disiplin maka sering terlontar cibiran "Ngaha ba roi, rajin da tantu siare, labo bona pahunare". Ungkapan sejenis ini kerap didengar ketika ada pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan, termasuk yang ingin menegakkan kedisiplinan.
Kemudian apa masalah yang paling mendasar? Sekali lagi mental dan kebiasaan kita. Jika ingin ada perubahan ke arah yang lebih baik maka rubah lah kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak terbukti mujur. Dan biasakan hal-hal yang positif. Termasuk kedisiplinan. Okey, nggak perlu nyinyir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H