SAYA memang sudah cukup lama tidak  bertandang ke kediamannya. Jarak rumah saya dengannya memang tidak seberapa jauh. Cukup melewati beberapa rumah warga sudah bisa sampai. Namun demikian, karena kesibukan masing-masing dan saya yang sering bolak balik di pulau seribu masjid, membuat saya jarang bertemu dengannya.
Saya memanggilnya Mas Ali atau sesekali dengan sebutan Kakanda. Maklum, saya di didik semasa kuliah untuk memanggil yang lebih tua dengan sebutan Kakanda. Hingga kini, saya masih merasa nyaman dengan panggilan itu. Bahkan saya pun senang dipanggil dengan panggilan Kakanda. Karena ada faktor penghormatan dan kedekatan jika disematkan dengan panggilan tersebut.
Malam ini, Jumat 23 Oktober 2020, setelah berkomunikasi lewat via Facebook beberapa jam  sebelumnya, saya akhirnya bisa bertandang lagi ke rumah Kanda Ali. Jika di hitung-hitung, hampir setengah tahun sejak corona menyeruak ke permukaan, kami tidak pernah duduk dan berdiskusi. Qodarullah malam ini ternyata baru bisa kesampaian.
Di kediamannya, Kanda Ali menyambut saya penuh antusias. Senyumnya merekah melihat saya datang di pintu gerbang masuk rumahnya. Bahkan kopi, kurma, roti sudah tersaji di atas meja. Dalam hati saya berkata, ini luar biasa.
Pasalnya, saya bukan pejabat, bukan pula kelas ningrat apa lagi sekelas anggota dewan. Saya hanyalah anak muda yang disibukkan menarik ulur layar handphone untuk memantau wara wiri warga dunia maya. Nampaknya tidak perlu di sambut sebaik ini. Itulah, Kanda Ali memang beda.
Tapi demikianlah persahabatan, persaudaraan tidak memandang beaugraund seseorang. Saya dengan Kanda Ali sudah saling mengenal cukup lama. Bahkan sejak lama sering duduk dan berdiskusi dengannya. Bahkan kami bisa berjam-jam menghabiskan waktu untuk membahas beragam topik.
Di mata saya, Kanda Ali adalah teman diskusi yang baik. Orangnya tidak suka memotong pembicaraan, menghargai lawan  bicara, tidak menggurui apa lagi menghujat orang yang berbeda pendapat dengannya.
Baginya semua mengalir apa adanya. Bahkan dengan berdiskusi nalar bisa berpikir lebih masif dalam menyikapi sesuatu. Pertemuan dengannya malam ini, merupakan satu keberuntungan buat saya.
Dengan kesibukannya sebagai pengusaha, Kanda Ali masih menyempatkan waktu buat saya untuk bertemu. Kami hanya berdiskusi persoalan-persoalan yang biasa-biasa saja. Mulai dari masalah yang aktual di kampung, sampai refleksi tentang sesuatu yang terjadi di masa lalu.
Kami tidak menentukan topik apa menjadi bahan diskusi. Pasalnya, yang terpenting kami bisa bersua dan berbagi kabar setelah lama tidak berjumpa. Dan yang yang paling spesial, Kanda Ali tahu betul saya penikmat kopi hitam. Kopi hitam selalu tersaji jika kami bertemu.
Dengan aroma khasnya menjadi nikmat tersendiri bagi saya ketika menyeruput kopi hitam sambil nongkrong seperti ini. Kesamaan saya dengan Kanda Ali adalah sama-sama tidak merokok, dan hanya penikmat kopi saja. Tetapi secara ide kami banyak bersebrangan. Bahkan  justru itulah membuat perbincangan kami menjadi hangat dan dinamis setiap kali bertemu.
Kami sama-sama menghargai perbedaan pendapat dan pandangan ketika menyoroti suatu persoalan. Saya pun bisa mengetahui sudut pandang yang berbeda dari Kanda Ali. Begitu pun sebaliknya. Apa lagi di musim pilkada saat ini.
Beragam pandangan merupakan sesuatu yang lumrah. Kami pun tidak ketinggalan mengikuti segala  perkembangan yang ada. Baik di alam nyata, terlebih di linimasa dunia maya, tapi bukan rumah tangga luna maya.
Malam ini terlihat nampak sepi. Rumah-rumah warga sekitar hanya terlihat cahaya lampu yang menerangi. Jalanan tidak terdengar suara bising kendaraan. Tapi branda facebook saya malah suara gemuruh pemberitaan mengenai pilkada justru lebih nyaring.
Malam semakin meninggi. Kopi hitam sudah terlihat melantai di teras gelas. Hanya menyisakan kampasnya saja. Walaupun bukan pencinta kopi kelas berat, tapi saya merasa hambar ketika suatu pertemuan tidak ditemani kopi hitam. Seperti merasa hampa ketika jauh dari pasangan.
Walaupun tidak mengetahui lebih dalam mengenai perjalanan hidupnya Kanda Ali. Saya melihat Kanda Ali seorang pekerja keras. Hal ini dibuktikan dengan rumahnya yang nan megah, usahanya yang mulai menggurita. Dan dalam banyak kesempatan, saya belum pernah mendengar penuturan tentang kisah perjalanan hidupnya.
Saya cukup bergairah ingin mendengarkan jika Kanda Ali suatu saat berkenaan menceritakannya. Paling tidak kisah perjalanan seorang yang pernah melalang buana di pulau Borneo ini bisa menginspirasi banyak anak muda, termasuk saya.
Jika kelak bertemu lagi, saya akan mengumpulkan keberanian untuk memintanya untuk bercerita. Karena malam semakin meninggi, saya pun meminta pamit untuk pulang.
Kami berpisah sambil berharap kembali menyeruput kopi hitam lagi. Karena dengan semangat egalitarian kami bisa menyatu di atas perbedaan. Karena berbeda itu indah dan tidak perlu mengutuk dan menghujat apa lagi melaporkannya ke pihak yang berwajib.Â
Jika ada yang melakukannya. Maka benarlah ungkapan bang Haji Roma Irama dalam lirik lagunya. Sunguuuhhh terrrlaluuu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H