NYIUR melambai saat roda dua yang saya kendarai melewati jalan bebatuan menyusuri pesisir pantai Soro Ta'a, Desa Daha, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu-NTB.Â
Awalnya saya tidak mengagendakan khusus untuk menikmati suasana pantai hari ini, Kamis pagi, 22 Oktober 2020. Pasalnya, badan saya masih terasa capek setelah menempuh perjalanan panjang dari kota Mataram beberapa hari yang lalu.
Namun karena tidak ada kesibukan, saya pun memutuskan untuk jalan-jalan saja. Setelah di ujung Desa Marada, tiba-tiba saya terpikir untuk menyambangi pantai.Â
Kali ini saya ingin mencari pantai yang agak sepi, jauh dari hiruk pikuk pengunjung dan punya suasana yang sejuk. Saya tiba-tiba teringat pantai Soro Ta'a yang masih cukup 'perawan'.Â
Untuk sampai di Pantai Soro Ta'a, saya harus serba hati-hati dengan kecepatan sepeda motor yang cukup pelan. Jalan  menuju pantai ini belumlah diaspal. Namun demikian, jalan ini sangat penting bagi para petani untuk membawa hasil panennya untuk sampai ke kampung.
Hamparan persawahan yang kering kerontang menghiasi pemandangan selama perjalanan. Setelah di ujung jalan dekat pantai, mata saya disuguhkan dengan kesibukan beberapa orang dengan gubuk sederhana yang sedang sibuk memasukan rumput laut ke dalam karung.Â
Jumlah mereka tidak seberapa, tapi di bibir pantai Soro Ta'a mereka tinggal dengan gubuk yang beratapkan terpal serta daun ilalang. Sedangkan dindingnya terlihat beberapa gubuk hanya dilapisi dengan spanduk partai.
Sekitar setengah kilo dari deretan gubuk itu, kemudian saya menyaksikan dua gubuk kecil yang hanya beratapkan terpal dengan dua orang perempuan separuh baya dan satu orang lelaki.Â
Lelaki itu sedang duduk santai di samping gubuk dan rumput laut yang menggunung di sampingnya. Sambil mengisap rokok kretek di tangan dengan asapnya terbawa angin laut, lelaki itu sesekali melepas pandang. Sedang dua perempuannya terlihat cukup cekatan memasukan rumput laut di dalam karung. Tangan kanannya begitu lincah menindis rumput laut dengan menggunakan kayu yang ukurannya tidak seberapa.
Saya menghentikan laju kendaraan tepat di depan  gubuk itu. Melihat saya datang, salah seorang perempuan yang sedari tadi sibuk dengan rumput laut dan karungnya, memandang saya dengan datar.Â
Terlihat raut wajahnya penuh dengan tanda tanya. Pasalnya mereka belum mengenal saya. Setelah turun dari motor dan mengucapkan salam, saya mencoba melepas tanya. Mereka serentak menjawabnya. Sejurus kemudian saya pun mendekati lelaki itu. Setelah ngobrol sebentar, kami  pun terlihat akrab.
Lelaki itu  bernama Suratman. Dirinya kurang lebih lima tahun memungut rumput laut demi ekonomi keluarganya. Tapi, hanya dilakukannya pada saat musim kemarau saja.Â