Ketika olahan daging yang sudah dimasak, baik yang bersahabat dengan lidah penikmat maupun ketika rasanya hambar, selalu akan dipertanyakan siapa yang menyembelihnya. Pandangan ini entah sejak kapan diungkapkan, saya sendiri belum tahu.
Menurut saya, kenapa tidak disalahkan yang memasak maupun yang menghidangkannya? Bukankah merekalah yang harus lebih tepat disalahkan jika rasanya tidak sesuai dengan lidah penikmat? Merekalah yang menentukan berapa banyak garam, micin, dan lain-lain. Malah si penyembelih yang menjadi pihak tertuduh.
Inilah pandangan yang sudah mengawet dalam pikiran kolektif masyarakat. Saya hanya bisa memakluminya saja, tanpa pernah menginisatif menyanggahnya.Â
Kambing adalah salah satu hewan pilihan yang akan disembelih ketika ada hajatan. Terlebih hajatan pernikahan atau sunatan. Seolah tidak afdol sebuah acara jika tidak ada daging kambingnya.
Walaupun sebenarnya tidak ada ketentuan khusus, bahwa harus ada kambing yang mesti disembelih ketika ada hajatan. Namun karena sudah tradisi, tentu ini seolah menjadi suatu keharusan bagi warga kampung.Â
Ini pengalaman pertama saya belajar menguliti daging kambing. Saya hanya ingin mencoba belajar saja, sembari membantu. Karena kapan lagi saya bisa mencoba dan mempelajari bagaimana cara mengupas kulit kambing yang sudah disembelih.
Terlihat mudah, tapi jika dilakukan, tangan kita harus serba hati-hati agar tidak salah arah pada saat ujung pisau menggores kulit kambing. Mengupasnya tentu penuh dengan teknik. Pengalaman tentu menjadi sesuatu yang penting untuk memperlancar pada saat melakukannya.Â
Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dan bangga tinggal di kampung, yakni solidaritasnya yang tinggi. Mereka akan merasa bersalah jika suatu hajatan tidak sesuai espektasi bersama. Dan sebaliknya, akan merasa bangga jika suatu acara berjalan dengan sukses.
Hajatan di kampung, menjadi medium bagi warga kampung untuk berkumpul, bersilaturahmi dan mempererat rasa persaudaraan sesama warga kampung.
Apakah solidaritas ini akan tetap mengawet dengan arus globalisasi yang kian menghujam banyak sendi dan tradisi budaya kita saat ini? Entah lah, biarkan waktu yang akan menjadi saksi atas apa yang akan terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H