SAYA melajukan roda dua yang kutumpangi. Dari rumah, saya hanya menempuh 10 menit perjalanan. Sebelum benar-benar kembali menginjakkan kaki di tanah perantauan, saya memutuskan untuk menyambanginya terlebih dahulu.
Sejak memutuskan merantau puluhan tahun yang lalu, sudah jarang saya menyambanginya. Jika pulang kampung di masa libur waktu berlabel mahasiswa, saya hanya melewatinya tanpa pernah singgah dan menyapanya. Â Sesekali ketika saat melewatinya kuperhatikan wajahnya telah berubah, tulisan namanya sudah terlihat jelas. Di beberapa titik, sudah ada bangunan-bangunan baru. Di depan pagar, ada beberapa pohon yang menjulang tinggi dan cukup rindang.
Kali ini saya mengunjunginya. Benar-benar saya merencanakan untuk bersua dengannya hari ini, Jumat pagi 10 Juli 2020. Sesampai di depan pintu masuk, beberapa siswa sedang duduk di pos satpam, di areal parkir beberapa siswa sedang bercengkrama. Kelihatan suasananya tidak begitu ramai. Setelah memarkirkan motor, saya langsung menuju lobi yang juga tidak kelihatan ada penghuninya.
Setelah berbincang beberapa menit, keduanya mengucapkan syukur dan berbahagia atas kunjunganku. Keduanya baru mengetahui, bahwa saya adalah alumni di sekolah tersebut, dan mereka berdua adalah guru-guru saya, ketika menimba ilmu di sekolah tersebut. Saya menyadari bahwa tidak semua guru mengingat semua siswa yang pernah diajarnya di masa lalu. Tetapi sebagai alumni di sekolah tersebut, tidak elok jika tidak menyapa mereka yang pernah menyiram embun pengetahuan sebagai modal menatap masa depan nan indah.
Saya memandang sekitar. Tiba-tiba  saya teringat di masa itu, di masa dimana saya masih berseragam abu-abu. Ada banyak kenangan yang terukir di sudut-sudut tembok, di pelataran ruangan, di perpustakaan, bahkan di lapangan volly di depan tempat dudukku sekarang ini. Sekolah ini telah menyimpan jutaan kenangan para almuninya, termasuk diriku.
Beberapa kepingan masa itu, masih terekam jelas dalam benak ini. Salah satu yang tak terlupakan, ketika saya berkelahi hanya karena masalah kawan sekampung. Karena masalah itu, bapakku harus dipanggil oleh pihak sekolah. Saya merasa malu karena itu, terlebih orang tuaku. Sesampai di ruang guru, sebelum duduk di salah satu kursi, bapakku seketika menamparku dengan begitu keras. Saya menangis, dan setelah itu, saya harus menandatangani surat pernyataan bersama, sebagai bentuk komitmen untuk tidak mengulangi masalah yang sama.
Kini, sebagian besar di antara mereka, yang dulu di labeli dengan sebutan anak 'nakal' justru menjadi pribadi yang sukses di bidangnya. Di antara mereka, ada yang bisa menuntaskan studi hingga strata dua, menjadi pengusaha sukses, bahkan  tidak sedikit menjadi pegawai negeri sipil.
Kembali ke sekolah, adalah kembali membangkitkan kenangan-kenangan masa lalu yang syarat pelajaran hidup. Masa itu menjadi cerminan dalam menapaki tangga hidup hari ini dan di masa mendatang. Di sini, saat ini kami para alumni mengenalnya dengan sebutan SMAN 1 HU'U. Di sinilah cerita itu bermula.
Adakah esok bisa berpijak lagi di sini? Entahlah, hanya waktu yang mampu menjawabnya. Tapi yang pasti, ada banyak kenangan yang pernah terukir selama tiga tahun menyelam embun-embun ilmu pengetahuan dari guru-guru hebat di sekolah ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI