KABUPATEN Dompu, juga di kenal dengan sebutan Bumi Nggahi Rawi Pahu, buminya para pendahulu yang patuh pada warisan leluhur.
Di tempat ini saya dilahirkan, dibesarkan, dididik dengan nuansa alam yang eksotik, budaya yang luhur, serta masyarakatnya yang bahu membahu untuk selalu sigap tolong menolong kala duka lara menimpa sesama.
Di sini semua itu di mulai, sejarah Bumi Nggahi Rawi penuh dengan darah dan air mata, meletusnya gunung Tambora 1815 sehingga banyak kampung-kampung yang terbakar dengan puluhan ribu orang yang meninggal.Â
Sampai kemudian, terjadi kekosongan  kekuasaan kala Sultan Syirajuddin yang ditangkap dan diasingkan ke Kupang Nusa Tenggara Timur oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1937.
Di tanah ini, para penduhulu telah mewariskan semangat juang untuk tetap optimis dalam menjalani hidup walaupun diluluhlantahkan oleh abu vulkanik yang maha dahsyat.
Tapi mereka tidak menyerah, tidak mengeluh, mereka bangkit dari keterpurukan, menatap masa depan dengan yakin, membangun kembali kehidupan di atas darah dan air mata setelah ditimpa bencana.
Sejurus kemudian perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, memaksa sultan harus dibuang ke pulau terjauh, hingga terjadi kekosongan kepemimpinan di Bumi Nggahi Rawi Pahu.Â
Namun rakyat Dompu ketika itu, tak patah arang, mereka tetap menjali hidup di bawah cengkraman penjajah dengan susah payah.
Tapi mereka bukan rakyat pecundang, merenge-renge memohon belas kasih dari ketiak penjajah, tidak tunduk dan patuh terhadap kezoliman.
Mereka tetap bangkit melawan, mereka menunjukan bahwa rakyat Dompu bukanlah segerombolan gembala yang mudah diatur. Mereka memiliki warisan leluhur yang menjadi penyemangat dalam setiap kesulitan yakni Maja Labo Dahu (Malu dan Takut), malu jika melakukan kesalahan, dan takut jika tidak melakukan yang benar.
 tanah leluhur ini banyak peristiwa masa lalu yang bisa dijadikan landasan berpijak, namun nampaknya mulai terabaikan, dicampakkan, tidak lagi diperhatikan, dan tidak terawat lagi sebagaimana mestinya.
DiDengan ketiadaan simbol-simbol masa lalu di Bumi Nggahi Rawi Pahu seperti istana kesultanan, baruga, rumah adat dan seterusnya, seolah ingin mengatakan bahwa masa lalu di pandang hanyalah onggokan sampah yang tak penting untuk dipelihara.
Sedangkan jika disadari dengan pikiran yang jernih, bahwa suatu negara, daerah atau masyarakat akan maju dan berkembang di masa mendatang jika mampu menyelami masa lalunya, mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian dari masa silam, memetik hikmah lalu menyusun rencana ke depan kemudian melangkah untuk mewujudkannya.
Bukankah Soekarno sebagai pemimpin revolusi di negeri ini, pernah mengatakan dengan berapi-api, bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah, bahkan ia menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.
Jika boleh jujur bahwa kita belum benar-benar serius menggali dan menyalami masa lalu untuk dijadikan cerminan dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang.
Kadang kita lebih senang dengan eforia politik praktis dalam semua ajang, baik pilkades, pilkada, bahkan saling menghujat ketika pilihan kita berbeda dengan yang lain.
Kadang kita lebih senang mendebatkan hal yang remeh temeh yang bisa berpeluang merusak hubungan sosial, ketimbang memelihara warisan leluhur yang sarat nilai. Hampir sudah tidak tampak lagi gotong royong, bahu membahu melakukan kepentingan bersama, memelihara warisan budaya dengan mempraktekkannya dalam setiap momentum.
Jika pun ada, itu hanyalah upaya memenuhi syarat agenda birokrasi saja, tanpa pernah menggali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Jika sejenak membandingkan dengan tetangga, baik kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Bima.
Di Bima, tempat- tempat bersejarah diwariskan dengan baik, istana kesultanan, kuburan sultan, tarian adat, wadu pa'a (batu warisan pengaruh Hindu), dan lain-lain masih dapat dijumpai, dan menjadi object wisata.
Perlukah simbol untuk menterjemahkan masa lalu?
Hal tersebut bukan saja perlu, tapi penting, karena simbol menandakan ada kepingan peristiwa yang pernah terjadi di tempat tertentu, agar generasi hari ini dan di masa mendatang bisa mempelajari dan menarik intisari dari sebuah peristiwa.
Nilai yang dipetik dari ragam peristiwa dapat menjadi peta jalan untuk menuntunnya dalam mengarungi rimba raya kehidupan yang penuh tantangan di masa mendatang. Mereka bisa memfilter segala nilai yang datang dari luar, memilah lalu memilih dan menselaraskannya dengan kehidupan dimana mereka berpijak.
Sebenarnya ada banyak cara mengikat masa lalu agar bisa tetap hidup dalam menapaki waktu. Bisa lewat tulisan, tugu, festival, seminar, menjadikannya kurikulum ke lokalan, komunitas-komunitas pencinta budaya.
Saya meyakini ada banyak pihak yang ingin serius menjaga warisan leluhur di Bumi Nggahi Rawi Pahu, namun kadang tidak mendapat apresiasi yang cukup dari pemangku kepentingan.
Aktifitas mereka tidak memiliki ruang, untuk mengekspresikan ide serta gagasan yang mereka ingin bangun. Sehingga kadang stagnan, pasif, bahkan ada yang gulung tikar.
Tarian misalnya, komunitas yang menjaga tarian tradisional ini kadang hanya menunggu momentum baru bisa kelihatan eksis, selebihnya bosan hidup matipun tak mau.
Semoga ke depan ada pihak-pihak pemangku kepentingan yang benar-benar perduli dengan warisan leluhur, yang tidak sekedar mendebatkannya di lini masa dunia maya, tapi benar-benar diwujudkan dalam kehidupan yang riil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H