Hal tersebut bukan saja perlu, tapi penting, karena simbol menandakan ada kepingan peristiwa yang pernah terjadi di tempat tertentu, agar generasi hari ini dan di masa mendatang bisa mempelajari dan menarik intisari dari sebuah peristiwa.
Nilai yang dipetik dari ragam peristiwa dapat menjadi peta jalan untuk menuntunnya dalam mengarungi rimba raya kehidupan yang penuh tantangan di masa mendatang. Mereka bisa memfilter segala nilai yang datang dari luar, memilah lalu memilih dan menselaraskannya dengan kehidupan dimana mereka berpijak.
Sebenarnya ada banyak cara mengikat masa lalu agar bisa tetap hidup dalam menapaki waktu. Bisa lewat tulisan, tugu, festival, seminar, menjadikannya kurikulum ke lokalan, komunitas-komunitas pencinta budaya.
Saya meyakini ada banyak pihak yang ingin serius menjaga warisan leluhur di Bumi Nggahi Rawi Pahu, namun kadang tidak mendapat apresiasi yang cukup dari pemangku kepentingan.
Aktifitas mereka tidak memiliki ruang, untuk mengekspresikan ide serta gagasan yang mereka ingin bangun. Sehingga kadang stagnan, pasif, bahkan ada yang gulung tikar.
Tarian misalnya, komunitas yang menjaga tarian tradisional ini kadang hanya menunggu momentum baru bisa kelihatan eksis, selebihnya bosan hidup matipun tak mau.
Semoga ke depan ada pihak-pihak pemangku kepentingan yang benar-benar perduli dengan warisan leluhur, yang tidak sekedar mendebatkannya di lini masa dunia maya, tapi benar-benar diwujudkan dalam kehidupan yang riil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H