AKHIR-AKHIR ini, kopi menjadi brand yang cukup sering perbincangkan, baik di kalangan pebisnis kopi, terlebih di kalangan  anak-anak muda milenial.Â
Menjamurnya kafe-kafe di berbagai kota dengan berbagai model dan tempat, adalah bukti bahwa kopi memiliki pasar dan peminatnya sendiri.
Kafe-kafe tersebut menyajikan berbagai asal muasal kopi, serta brand yang unik. Sebut saja, kopi Toraja di Sulawesi Selatan, Kopi Gayoh di Sumatra dan kopi Tambora di Kabupaten Dompu, serta beberapa tempat lainnya di Nusantara.Â
Dari semua kopi memiliki aromanya masing-masing, yang disesuaikan dengan prosesnya, mulai dari memilih biji kopi, merosting, menghidangkan sampai menyeruputnya.Â
Di kampung saya, masyarakat memiliki cara merosting (pembakaran) kopi yang sudah lama diwariskan turun temurun, hingga kini. Jauh sebelum kopi menjadi trend seperti saat ini, masyarakat sudah menjadikan kopi sebagai salah satu minuman penghangat tenggorokan kala pagi menyapa.Â
Sebelum proses merosting, terlebih dulu kopi dicampur dengan irisan kelapa, jahe, dan beras. Lalu di rosting di atas wajan besar yang terbuat dari tanah liat. Dalam proses merosting, api harus tetap terus menyala, dan waktu yang dibutuhkan bisa berjam-jam lamanya. Hal ini, untuk menghasilkan  aroma dan rasa kopi yang di inginkan pada saat dihidangkan dan diseruput.Â
Pada saat merosting inilah, seseorang harus siap duduk lama, dan merasakan panasnya api di tungku. Walaupun kopi di wajan sudah terlihat hitam pekat, namun tidak lantas dianggap kopi sudah  matang. Dalam hal ini dibutuhkan pengalaman serta proses pembiasaan untuk bisa mengetahui secara jelas bagaimana kopi bisa di nyatakan sudah layak untuk dikeluarkan dari wajan.Â
Setelah proses merosting sudah selesai, biasanya kopi di simpan di ember dan nyiru untuk di dinginkan beberapa saat sebelum ditumbuk. Proses ditumbuk merupakan tahapan terakhir sebelum kopi dihidangkan dengan air hangat. Pada saat dihidangkan kopi hanya dicampur dengan gula pasir yang disesuaikan dengan selera penikmat.Â
Dalam proses tersebut, umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Itupun yang sudah terbiasa dan berpengalaman. Sebab, jika dilakukan oleh seseorang yang baru pertama kali, maka bisa jadi kopi yang di inginkan tidak akan sebaik yang di harapkan.Â
Kebiasaan minum kopi di kampung saya, biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang tua, sebelum mereka beraktifitas. Baik sebelum berangkat ke kantor terlebih mereka yang bekerja seharian di ladang dan di sawah.
Jangan pernah bertanya kecintaan mereka terhadap kopi. Walaupun mereka buka petani kopi, tapi mereka bisa memilih untuk tidak makan seharian, asalkan sudah menyeruput kopi.Â
Kopi merupakan sajian wajib, setelah terang tanah. Warga di kampung, sudah menganggap kopi adalah minuman wajib yang harus disiapkan sebelum menikmati sajian yang lain dalam menjalani hari.Â
Hari ini, saya belajar bagaimana merosting kopi, dengan duduk di samping wajan sambil mengaduk kopi hingga matang. Namun, ternyata tidak mudah seperti yang terlihat, karena dibutuhkan kesabaran tingkat Nabi, untuk bisa menyelesaikan proses merosting.Â
Kelak, jika datang di kampung saya dan Anda pencinta kopi, maka tidak segan warga akan menghidangkan buat Anda, bahkan kopi saset sekalipun. Karena kopi bagi kami di kampung, bukan sekedar minuman, tapi di sana memiliki makna sosial yang dalam.Â
Jika Anda datang menghadiri acara sunatan, kegiatan-kegiatan sosial, kopi bahkan  teh menyatukan semua yang sedang berpeluh keringat. Karena kopi adalah rasa. Rasa nikmat di lidah, rasa persaudaraan, rasa keharmonisan serta rasa kedamaian kala kopi diseruput di waktu senja temaram di pinggir pantai kala sore menyapa.Â
Salam Kopi, Salam Kampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H