IA tidak sebesar Gelora Bung Karno (GBK), juga tidak semegah seperti Emerits Stadium milik Arsenal, dan Enfield kandang Liverpool. Bahkan dia tidak memiliki tribun untuk para penonton. Tapi di sini, terpendam banyak kisah, banyak cerita dan kenangan kolektif masyarakat bagaimana pertandingan sepak bola antar kampung disuguhkan.Â
Memang tidak ada spanduk membentang, tidak ada drum yang digemakkan, juga tidak ada yel-yel dan lagu satu jiwa dinyanyikan, layaknya suporter Bonek mania Persebaya, dan Aremania suporter Arema.Â
Tapi di lapangan ini banyak kemenangan juga kekalahan yang terkubur bersama berlalunya waktu. Ketika usia saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, di kala sore tiba kami bergerembolan melalui jalan kampung untuk bisa menyaksikan suatu pertandingan final dengan mempertemukan tuan rumah, Rasabou yang berhadapan dengan keseblasan dari desa Adu.Â
Dua team ini merupakan langganan juara, selain Desa Cempi Jaya dan Desa Sawe. Pergelaran sepak bola biasanya dalam rangka untuk memeriahkan hari kemerdekaan tujuh belasan. Warga kampung menyemut di jalan, tumpah ruah dipinggir lapangan, memberi semangat, dukungan, dan berlarian masuk kentengah lapangan sambil sorak sorai jika terjadinya gol.Â
Bagi kami pertandingan bola di kampung, tidak hanya menyaksikan para team berlaga di tengah lapangan, menggiring bola, memberi umpan, melewati lawan dan mencetak gol, lalu berlarian sambil selebrasi ala Leone Messi. Tapi sepak bola adalah medium, sebuah lanskap besar yang mempertemukan para warga dari berbagai desa untuk bersua dan berbagi kabar.Â
Menonton bola bagi kami orang kampung, merupakan hiburan bersama. Datang ke lapangan dengan menikmati suasana pertandingan, lalu duduk dipinggir lapangan, memberikan komentar kepada team yang bertanding dan pulang selalu bergerombolan. Menonton pertandingan adalah pelepas penat kala bergumul dengan sawah, ladang, dan ketika kebosanan mendera di waktu sore.Â
Tak ada tiket pertandingan, tidak ada tribune very important person (VIP), dan tribune ekonomi, semua sama. Duduk beralaskan sandal, kadang ada yang memanjat pohon dan menontonnya dari atas.Â
Semua orang tidak ada yang diistimewakan, semua sama dan menikmati pertandingan bersama. Tidak ada sentimen para supporter layaknya Bonek mania vs Aremania, jarang ada permusuhan abadi antar supporter seperti Persib Bandung dan Jakmania Persija Jakarta.Â
Bagi kami kala itu, pertandingan sepak bola telah mempertautkan perasaan sekampung, sekecematan. Jika pun ada gesekan, itu hanya warna warni dari sebuah ekspresi layaknya orang kampung pada umumnya. Semua cepat terkendali, semua pasti akan cepat aman. Karena kami adalah saudara. Kami adalah sejiwa dan kami bangga akan hal itu.Â
Lapangan Rasabou merupakan kandang bersama bagi semua team yang akan berlaga. Tidak ada laga kandang, dan tidak ada laga tandang bahkan tidak ada jual beli pemain. Hampir Semua pemain berasal dari desa yang sama.Â
Mereka bertanding bukan mengejar Ballon d'or atau sepatu emas ala Moh. Salah di Liga Inggris. Para pemain membawa semangat yang sama, nama kampung di pertaruhkan dalam setiap pertandingan.Â
Jika menang, maka semua warga kampung ikut bahagia, ketika malam tiba mereka mengulas kembali pertandingan di gardu-gardu kampung sambil menyeruput kopi hitam. Mereka menganalis pertandingan layaknya para pengamat sepak bola kelas dunia.Â
Lapangan Rasabou riwayatmu kini, kami tidak lagi melihat pertandingan-pertandingan disajikan seperti dulu. Walaupun engkau telah ditembok, namun belum bisa mengembalikan suasana pertandingan yang mirip seperti yang kami saksikan dulu.Â
Engkau kelihatan tak terurus, banyak sampah berserakan dimana-mana, sapi memakan rumputmu, dan sesekali anak kecil bermain bola di bagian atas kerinduan kami terhadapmu.Â
Namun demikian, di kala waktu sore menyapa, sebagai pelipur lara, anak-anak muda mengisih kekosongan bermain bola dalam turnamen tidak resmi di atas reremputanmu yang tak  menghijau lagi. Mereka memanfaatkan sebagian badanmu, untuk melepas kerinduan serta mengekspresikan kecintaannya pada sepak bola.Â
Sebab, jika turnamen 'bola besar' diselenggarakan tentu akan banyak bibit unggul yang bisa dilahirkan. Mereka kemudian bisa diorbitkan ke turnamen-turnamen di kanca kabupaten bahkan ketingkat nasional. Tentu jika mereka berprestasi maka membuat satu kecamatan ikut berbangga, ikut senang dan ikut merasakan kegembiraan yang sama. Kampung kita bisa terkenal, karena awak media akan meliput, menyiarkan dan memberitakan bahwa anak kampung dari Kecamatan Hu'u bisa disejajarkan dengan pemain-pemain professional lainnya.Â
Bukankah baru-baru ini salah seorang pemuda asal Desa Sawe, mampu membawa teamnya ke kancah nasional yang diselenggarakan di kota Malang dengan membawa nama NTB. Semua ikut bangga, terlebih mahasiswa-mahasiswi kecamatan Hu'u, yang sedang menimba ilmu di beberapa perguruan tinggi di kota Malang, dan ikut menyaksikan pertandingan mereka. Kemudian kebanggan itu mereka ekspresikan dengan menulis di linimasa media social, Facebook, WhatsApp. Mereka ingin menyampaikan kepada semesta bahwa kampung kami dari pedalaman sana, yang jauh di selatan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat bisa berbicara banyak dalam hal sepak bola.Â
Lewat kanal media mereka seakan ingin mengatakan kepada publik Aremania kota Malang, kelompok supporter Arema yang terkenal fanatik. Bahwa kami bisa saja dari kampung, tapi kami juga pencinta sepak bola, kami fanatik bermain bola, jangankan lapangan  resmi, sawahpun menjadi tempat kami bermain ketika di kampung. Terkelupasnya kulit karena menendang batu, kayu, bukanlah masalah, sebab kami bermain bola adalah kebahagian itu tersendiri.Â
Tentu jika ingin menghidupkan kembali turnamen-turnamen 'bola besar' di kecamatan Hu'u, harus dibangun komitmen bersama semua element. Baik masyarakatnya, pemerintah dan semua stekholder yang memiliki kepentingan yang sama.Â
Di suatu kesempatan di bulan Desember 2019, saya bersua dengan bapak Syarifuddin Kepala Dusun Rasabou ketika menyaksikan pertandingan bola mini di lapangan sepak bola Desa Sawe.Â
Beliau adalah pemain yang cukup diandalkan di masa kejayaan team sepak bola Desa Rasabou. Kini Dae Rossan begitu biasa ia di sapa, kini mendalami ilmu menjadi seorang pelatih professional sepak bola.Â
Menurutnya ada beberapa faktor yang bisa menjadi batu sandungan kenapa 'bola besar' tidak lagi dipertandingkan dalam turnamen-turnamen di kampung.Â
Pertama, bola mini atau biasa disebut bola plastik (bola kecil), masih cukup digemari oleh sebagian besar warga kampung. Karena tidak membutuhkan sepatu lengkap, team tidak harus berjumlah 12 orang dan bola mini dianggap lebih sederhana.Â
Kedua, kurangnya turnamen-turnamen yang diselenggarakan oleh para pecinta sepak bola untuk menyelenggarakan sepak 'bola besar' sehingga pihak-pihak tertentu memilih untuk mengalihkan minatnya kepada turnamen-turnamen bola mini.Â
Ketiga, tidak semua pemain yang ingin bermain bola memiliki peralatan yang lengkap jika ingin bermain 'bola besar', seperti pemain-pemain di liga 1 misalnya.Â
Keempat, perlu ada campur tangan pemerintah untuk menginisiasi kembalinya turnamen-turnamen 'bola besar', sebab bagaimanapun antusiasnya masyarakat untuk menyelenggarakan turnamen maka akan terlalu beresiko jika tidak mendapat restu pemerintah setempat.Â
Obrolan singkat saya dengan Dae Rossan kala itu, memberikan gambaran kepada saya kenapa beberapa tahun belakangan ini turnamen-turnamen 'bola besar' hampir hilang dari peredaran.Â
Lapangan Desa Rasabou sudah lama menganggur, dan tidak pernah dijamah lagi kaki yang mengocek sih kulit bundar, dan melesat kemudian merobek gawang, lalu para penonton bergembira ria dengan teriakan menggema di langit-langit kampung.Â
Kapankah ternumen itu terwujud? Bertanyalah kepada bola yang menggelinding yang butuh sentuhan kaki-kaki mungil generasi pecinta sepak bola di tanah Bumi Nggahi Rawi Pahu, buminya para Ncuhi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI