Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Rindu Kampung di Tanah Perantauan

29 Februari 2020   20:55 Diperbarui: 1 Maret 2020   00:28 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah terbesit di benakku untuk kembali ke kampung halaman, setelah lama menyambangi rimba raya alam perantauan. Aku terketuk ingin menghabiskan waktu bersama orang tua dan keluarga. Tapi aku harus terpaksa menanggalkan gelar, memupus impian yang telah lama terpilihara. Dan paling miris aku akan dicap 'gagal' oleh keluarga. 

Bagi perantau di kampungku adalah mereka-mereka yang berani mendaki jalan terjal, melewati krikil penuh duri, siap segala resiko menghampiri, bahkan harus memendam rasa rindu terhadap mereka yang ditinggalkan.

Jika semua itu telah terlewati, di ujung perjuangan ia akan mengibarkan bendera kemenangan. Jika ia telah sukses, maka orang-orang akan menyabutnya bak pahlawan yang pulang di medan perang. Semua senang.

Semua orang akan merasa berjasa atas kesuksesannya. Mereka-mereka mendekat, sembari membuka cerita-cerita dalam lipatan masa lalu sembari mengharapkan imbalan. 

Namun, aku belum sampai pada fase itu. Membuat senyum orang tuaku saja belum bisa. Aku menjadi pengelana, yang tak tahu entah kapan harus berhenti. Menelusuri ruang-ruang hampa di tanah perantauan, sambil menjaga asa untuk bisa seperti pendahulu dari kampung halaman yang sukses di perantauan. 

Dalam pandangan orang kampung, mereka yang sukses diparantauan telah memberikan kebanggan bagi kampung halaman. Hamdan Zoelva misalnya, ketika kasus pemilu terjadi, maka orang di kampungnya di Parado Bima, merasa bangga. Bahwa ada putra daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, memiliki kewenangan ditangannya untuk menentukan siapa yang akan memimpin bangsa selama lima tahun kemudian. 

Kembali ke kampung, tentunya aku kembali bergumul dengan kubangan sawah di musim tanam, melepas layang-layang ketika paren tiba, mengambil kerang jika air laut surut dan sesekali masuk hutan untuk mengambil kayu bakar di musim kemarau. Kembali menjadi orang 'biasa', dan tak akan dianggap menjadi sesuatu yang luar biasa. 

Jejak masa kecil itu, tersimpan rapi di ingatanku. Setelah memutuskan merantau sejak 2006 silam, hal itu hampir tidak pernah aku lakukan  lagi. Keadaan kampung hanya didapat dari cerita ibuku, jika sewaktu-waktu menghubungiku lewat via telpon. Kalaupun aku pulang kampung, tidak banyak hal yang bisa aku kerjakan, selain karena waktunya singkat juga karena aktifitas lain yang menyumbatnya. 

Aku menyadari untuk mencapai kekesuksesan, tentu butuh perjuangan. Perjuangan tanpa henti, tanpa mengenal kata lelah, dan siap harus berpeluh keringat, menyedot semangat kala terjatuh dan menjadi penyabar tingkat dewa kala diremehkan. Namun, seperti kata Napoleon Bonaparte, seorang jenderal ternama prancis yang hampir menguasai daratan benua biru "tidak ada yang mudah, tapi tak ada yang tak mungkin".

Di sini, di tanah perantauan aku masih menjaga asa, berusaha merawat impian yang dulu pernah aku wartakan kepada kedua orang tuaku. Bahwa kelak aku akan menjadi orang hebat dan sukses diperantauan. Restunya meyakinkanku, doanya laksana oase di padang pasir nan kering. Ibuku menjadi alasan kenapa aku terus berjuang, walaupun aku tak pernah tahu kapan impian itu terwujud menjadi kepingan kenyataan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun