Belakangan ini bersepeda merupakan olahraga rekreasi yang banyak digemari. Gowes saya hari Minggu ini ke seputar Kota Jogja. Saya dapat memanjakan mata dengan pemandangan sekitar dan membebaskan dari rutinitas pekerjaan.
Berangkat dari rumah pukul 05.00, perkiraan sampai Tugu Jogja pukul 05.30 WIB. Perjalanan yang menyenangkan, durasi cukup, santai, dan tidak terlalu melelahkan. Weekend biasanya saat pagi jalanan lebih lengang dan udara belum tercampur debu dan asap kendaraan bermotor.
Akhirnya, sampailah di Tugu Jogja. Saya kali ini akan bersepeda menelusuri sumbu filosofi Yogyakarta, sebagai poros atau garis lurus dengan penanda utama Tugu Jogja, Keraton, dan Panggung Krapyak. Ini melambangkan siklus hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Sumbu filosofis ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 18 September 2023 pada sidang ke-45 World Herritage Committee UNESCO di Ryad, Arab Saudi dengan nama "The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks". Yang menarik adalah siklus hidup manusia ini dilambangkan melalui vegetasi yang ditanam di sepanjang sumbu filosofis ini.
Berdasarkan konsep siklus hidup manusia mungkin perjalanan ini terbalik, seharusnya dari Panggung Krapyak ke Keraton baru ke Tugu Jogja. Tapi tak mengapa, toh tujuan utamanya gowes sekaligus ingin melihat vegetasi di poros sumbu filosofi.
Tugu Jogja ke selatan saya menyusuri Jalan Marga Utama (sebelum 2013 dinamakan Jalan Pangeran Mangkubumi). Matahari redup terselimuti awan kelabu merata. Udara agak lembap dan rintik-rintik gerimis sebentar datang-pergi. Di kiri dan kanan jalanan ini berderet pohon asam (tamarindus indica) dan pohon gayam (inocarpus edulis). Pohon-pohon ini ditanam sebagai upaya untuk mengembalikan dan menata kembali tanaman khas Yogyakarta terkait sumbu filosofis Yogyakarta. Selain sebagai perindang dan penghasil oksigen tanaman-tanaman ini memiliki makna tersendiri. Pohon asam atau dalam bahasa Jawa asem melambangkan ketertarikan dari kata nengsemake dan gayam yang melambangkan ketenangan dari kata ayom/ayem manusia dewasa. Pohon asam dan gayam yang berderet teratur di kiri dan kanan sepanjang jalan searah ke selatan ini menambah kesejukan pagi ini.
Sampai di perlintasan rel kereta api saya harus turun dari sepeda, dan mendorong sepeda, menuggu kereta lewat terlebih dahulu. Kebetulan pintu pengaman perjalanan kereta api sudah menutup secara automatis. Setelah kereta lewat dan pintu terbuka, saya menuntun sepeda melintas ke selatan ke Jalan Marga Mulya (sebelumnya diberi nama Jalan Ahmad Yani atau dikenal Jalan Malioboro). Lagi-lagi saya menyaksikan kiri-kanan  trotoar jalan didominasi pohon asam dan gayam. Bedanya pohon asam di Jalan Marga Mulya ini sudah banyak yang berbuah. Jumlah pohon asam lebih banyak daripada pohon gayam. Kedua jenis pohon belum terlalu tinggi (antara 3-4m), kesan rimbun masih dipengaruhi beberapa vegetasi lama pohon beringin di sisi timur dan bangunan bertingkat.
Saya berhenti sejenak di selatan titik nol kilometer, tepatnya di Jalan Pangurakan. Saya berhenti di bangku trotoar yang memang disediakan untuk beristirahat dan menikmati suasana. Di jalan terpendek di Kota Jogja ini tidak ditanami pepohonan sama sekali. Kalau saya lihat ke arah timur, di Jalan Panembahan Senopati hijau deret pepohonan baru terlihat. Tanaman identitas beringin, asam, dan gayam cukup banyak ditanam, baik di tengah jalan maupun di trotoar kiri-kanan. Untuk arah barat di Jalan KH Ahmad Dahlan tidak banyak pepohonan yang ditanam.
Saya pun melanjutkan gowes. Sampai di ujung Jalan Pangurakan terdapat sepasang pohon beringin yang diberi nama Kiai Wok di sisi kanan saya dan Kiai Jenggot di sisi kiri, tepat di sisi utara Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Sebuah tanah lapang yang sejak tahun 2022 ditutupi pasir lembut, sering digambarkan sebagai laut tak berpantai. Di tengah alun-alun utara ini terdapat sepasang pohon beringin, di sebelah kanan diberi nama Kiai Dewadaru di sebelah kiri diberi nama Kiai Jayadaru. Di depan Bangsal Pagelaran atau bagian selatan alun-alun ada sepasang pohon beringin lagi, di sebelah kanan diberi nama Binatur di sebelah kiri diberi nama Agung. Selain beringin yang sudah diberi nama ini ada 58 beringin yang mengelilingi Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, sehingga jumlah keseluruhan ada 64 pohon beringin. Ada dua macam pohon beringin yang ditanam di Keraton Yogyakarta, yaitu beringin pada umumnya (ficus benjamina) dan beringin preh (ficus ribes). Pohon beringin ini dikenal dengan pohon yang kuat, kokoh, teduh, tempat hidup beberapa jenis burung, dan mudah beradaptasi. Oleh masyarakat Yogyakarta dimaknai sebagai pelindung, pemberi manfaat, dan teguh pendirian. Hal ini sebagai representasi dari manusia yang lebih bermanfaat.
Dari Alun-Alun Utara saya mengayuh sepeda mengelilingi alun alun sisi barat dan memarkir sepeda di depan Masjid Gedhe kauman. Tepatnya di bawah rindangnya pohon tanjung (mimusops elengi). Saya akan melihat-lihat tanaman khas yang ditanam di dalam Keraton Yogyakarta. Dengan membayar tiket wisatawan domestik Rp15.000,00 saya memasuki halaman Keraton Yogyakarta melalui pintu barat.
Di dalam kompleks keraton ini terdapat beberapa pohon khas. Terdapat pohon sawo kecik, gayam, tanjung, jambu dersana, manga, keben, kepel, dan kantil.
Pohon sawo kecik (manilkara kauki) yang berada di pelataran Keraton Yogyakarta ini jumlahnya lebih dari enam puluh batang. Ketinggian pohon bervariasi dari 10-20 meter. Daunnya berbentuk lonjong dengan dahan dan cabang yang menyebar ke segala penjuru. Buahnya berwarna hijau kekuningan, sedangkan yang sudah masak berwarna merah kecoklatan.