Saya terus mendaki sampai tiba di Cemara Tunggal atau ada yang menyebut Pohon PW. Di tempat itu sudah ada Fano, Rosi dan seorang guide. Kepada saya mas guide tersebut mengatakan bahwa dia sudah berada disitu sejak jam setengah empat. Dia menunggu empat orang tamunya dari Jerman yang belum juga turun dari puncak. Dengan kondisi puncak yang sedang badai, dia tadi sempat menyarankan tamunya untuk tidak memaksa ke puncak. Tapi rupanya tamunya memaksa untuk tetap ke puncak.
" Kondisi seperti ini yang paling saya khawatirkan Bang. Ketika di puncak terjadi badai, tamu tetap memaksa untuk ke puncak. Ya tahu sendirilah Bang, orang bule itu suka penasaran dan suka nekat. Walaupun sudah saya beri tahu bahwa di atas sedang badai" terang guide tersebut. Saya sempat bertemu dengannya di Pos 2, dan saya juga sempat ngobrol dengan 4 orang tamunya.
" Saya sudah menunggu disini sejak jam setengah empat tadi, dan sampai sekarang tamu saya belum kembali. Karena mereka memaksa tetap naik, jadi tadi sudah saya bawakan 3 sleeping bag, makanan dan minuman, termasuk sebuah termos berisi minuman panas. Saya tadi berpesan jika terserang badai mereka bisa berlindung dengan sleeping bag di sela-sela jalur ke puncak." timpal mas guide tersebut.
"Saya pernah terserang badai diatas. Untuk berjalan saja sulit, hembusan anginnya terlalu kuat. Kita bisa terhempas ke jurang oleh sapuan angin badai tersebut. Bersembunyi di bawah juga tersapu debu pasir yang berterbangan. Akhirnya saya putuskan untuk turun dengan cara merayap sambil tiarap. Baju dan celana saya sobek semua terkena kerikil dan pasir. Termasuk juga muka saya pasir semua. Tapi, gapapa yang penting bisa turun dengan selamat" Begitu ucap mas guide menceritakan pengalamannya waktu terkena badai dahsyat di puncak Rinjani.
Memang dari bawah terlihat puncak Rinjani hari itu tertutup awan hitam pekat. Menandakan bahwa di atas sedang terjadi badai hebat. Pendaki yang menunggu cuaca membaik bertahan di letter E. Mereka berharap badai segera berlalu dan bisa melanjutkan ke puncak. Hampir 80% pendaki hari itu tidak bisa menggapai puncak karena kondisi badai yang sedang terjadi. Hanya sekitar 20% saja yang berhasil tiba di puncak dengan kondisi puncak yang tidak kelihatan apa-apa.
Saya bertemu dua orang ibu-ibu dari Medan yang baru turun dari letter E. Mereka juga duduk istirahat di cemara tunggal bergabung bersama kami. Dari raut mukanya nampak sekali kekecewaan karena tidak bisa menggapai puncak akibat cuaca buruk.
" Sayang banget, sudah jauh-jauh dari Medan sampai sini tidak bisa kesampaian ke puncak. Harus diulang lagi nih, remedy kesini lagi." Ujarnya kepada temannya yang duduk 'ndlosor' di pasir di sampingnya.
Kami hanya bisa terdiam melihat adegan percakapan mereka tersebut. Sebab dalam hati kecil kami juga mengalami kekecewaan serupa, bahwa kami juga mengalami nasib yang sama dengan mereka. Namun demi pertimbangan kesalamatan, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan ke puncak. Mendaki gunung tidak berarti harus memaksakan diri bisa menggapai puncak. Jika Tuhan mengijinkan, kita bisa mendaki lagi ke Rinjani suatu saat nanti. Tentunya dengan memilih waktu mendaki yang tepat, yang kondisi alamnya sedang bersahabat. Bukannya tak akan lari gunung dikejar?
Setelah semua anggota team berkumpul di cemara tunggal, kami putuskan untuk mengambil foto bersama di lokasi cemara tunggal di bawah letter E ini. Kami semua bersepakat untuk tidak melanjutkan ke atas karena kondisi puncak yang sedang badai. Pendaki yang bertahan di letter E juga sudah banyak yang turun. Termasuk empat orang tamu bule yang ditunggu mas guide juga sudah turun. Mas guide terlihat senang setelah bertemu dengan tamunya. Mereka pun langsung pamit untuk turun lebih dulu.