Hari itu saya ada sebuah urusan di Surabaya. Dan  untuk berangkat ke Surabaya saya memutuskan naik kereta api dari stasiun Lawang dengan ditemani suami.  Perjalanan kereta api dari Lawang ke Surabaya memakan waktu sekitar 2 jam. Setibanya di stasiun Gubeng Surabaya kereta yang saya tumpangi mulai melambat dan berhenti. Saya segera turun dari kereta dan berjalan ke peron. Lalu saya mencari bangku panjang kosong untuk duduk sejenak beristirahat.
Dari kejauhan saya melihat seorang ibu yang berjalan tergesa memasuki peron stasiun. Di bahu kirinya bergantung sebuah tas hitam ukuran sedang. Sementara di tangan kirinya menyeret sebuah  tas koper yang berukuran agak besar. Sedang tangan kanannya masih menenteng sebuah tas lain dan sebuah tas plastik. Langkah si ibu itu sedikit terburu  - buru menuju ke arahku. Kemudian dia mengambil tempat duduk persis di sebelahku.
 " Assalamu'alaikum bu, koq sendirian  Ibu mau kemana ? " sapa saya berlagak ramah.
" Waalaikum salam Jeng" balas beliau dengan sangat ramah.
"Saya mau  menghadiri reuni emas SMP Surabaya yang bertempat  di Bandung. Saya memang sudah biasa bepergian sendiri seperti ini. Bawaan saya juga agak banyak. Selain membawa pakaian yang pantas untuk setiap acara nanti,  saya juga membawa perlengkapan olah raga, obat -- obatan pribadi, kebutuhan kecil -- kecil  seperti  tas kresek, peniti, koran bekas  dan lain - lain  agar tidak merepotkan orang lain." Terang si Ibu ini. Diam - diam saya jadi ingat kebiasaan seorang sahabat yang selalu mempersiapkan bawaan secara detail setiap kali bepergian.
"Teman--teman yang berdomisili di Jawa Timur, nanti berangkat bersama saya naik kereta dari stasiun ini. Teman saya ada yang dari Jombang, Pare, Malang dan sekitar Surabaya. Senang lho Jeng ketemu dengan teman--teman  lama, kita seolah -- olah kembali ke jaman  masih SMP dulu, dengan silaturahim seperti ini bisa nambah semangat hidup." ucap si ibu dengan penuh semangat.
"Saya lulus SMP tahun 1958, Alhamdulillah sekarang usia saya hampir 67 tahun. Anak saya ada 5 orang, 1 orang di Philipine, 1 orang di Kairo, 1 orang di Papua, dan yang dua orang lagi tinggal di Bandung dan Jakarta. Sekarang saya tinggal hidup berdua dengan Bapak beserta seorang pengurus rumah tangga.
Si ibu yang saya lupa tidak menanyakan namanya ini menuturkan untuk bisa menjadi seperti dirinya sekarang ini beliau memiliki kiat sendiri. Diantara kiat si ibu tersebut adalah, pertama kita harus rajin olah tubuh walaupun yang ringan -- ringan , disamping asupan makanan yang bergizi tentunya. Kedua, tidak ngongso -- ongso (menggebu-gebu), berupaya selalu ikhlas dengan apa yang dihadapi. Ketiga, berupaya untuk memahami orang lain, walau anak sendiri sekalipun. Dan yang terakhir, selalu berpikiran positif dan percaya dengan orang lain
"Ujian hidup seseorang biasanya datang pada usia antara 40 -- 50 tahun. Saat itu kebutuhan hidup berada dipuncaknya. Anak -- anak mulai membutuhkan banyak biaya karena sudah masuk ke Perguruan tinggi, biasanya juga banyak cobaan yang lain. Kalau kita bisa melewati masa itu dengan baik, InsyaAllah beban setelah usia 50 tahun akan lebih ringan, enjoy aja" begitu kata beliau sambil menirukan iklan di TV.
"Seperti yang sudah saya lakukan selama ini, kewajiban sebagai orang tua adalah membekali anak -- anak dengan ilmu dunia agar mereka punya kehidupan yang layak. Tapi tidak lupa juga untuk menanamkan budi pekerti, keimanan dan taqwa secara baik agar berimbang antara kehidupan dunia dan kehidupan selanjutnya kelak. Setelah itu terserah mereka mau menentukan langkah dan sikap untuk kehidupannya sendiri bersama keluarganya nanti. Kami tidak pernah memaksakan mereka untuk membalas apa yang sudah kami berikan pada mereka, karena semuanya kami jalani sebagai suatu kewajiban dengan ikhlas."
"Dengan Bapak, kami selalu bersikap saling percaya, saling mendukung, saling berbagi cerita, respect satu sama lain. Beda pendapat kecil -- kecil pasti ada, karena kita berangkat dari lingkungan status dan kebiasaan yang berbeda. Tapi yang harus diingat, jangan biarkan persoalan mengendap lebih dari satu hari, selesaikan dengan saling mendengar, jangan hanya minta didengar."
"Kalau tidak ada kegiatan di luar rumah, kami berkebun di belakang rumah, baca buku tentang  agama,  tentang tanaman dan lain - lain  dan berbincang ringan. Jarang sekali kami membicarakan anak -- anak yang sudah punya kehidupan sendiri -- sendiri. Kehidupan kami sudah seperti teman, saudara, atau sahabat. Kami nikmati hidup mengalir apa adanya dan lebih mempersiapkan diri menambah bekal untuk pulang kelak."
"Saya sangat bersyukur, walaupun anak -- anak jauh semua, kehidupan bersama Bapak yang seorang pensiunan PJKA yang jauh dari gelimang harta, tapi kami tetap merasakan hidup ini indah, mau kemanapun saya masih bisa sendiri, tidak bergantung pada anak atau suami dan Alhamdulillah  atas anugerah  sehat yang  diberikanNya." Saat beliau bercerita seperti itu, saya hanya mendengarkan dengan rasa kagum, Subhanallah !
Satu demi satu teman -- teman beliau mulai berdatangan, " Maaf Jeng .., saya tinggal dulu ya .... " kata beliau sambil beranjak pergi.
 "Terima kasih Ibu, selamat jalan mudah -- mudahan perjalanan dan acaranya lancar dan semoga Allah memberikan  kesempatan ketemu lagi  di lain waktu"  kata saya sambil memandangi beliau pergi bersama para sahabatnya.
Dari jauh saya amati mereka, umumnya mereka datang sendiri -- sendiri, hanya satu dua orang yang diantar anak cucunya. Saya tersenyum melihat cengkerama  mereka  seolah -- olah kembali kemasa -- masa sekolahnya dulu, terpancar kebahagiaan yang tidak ternilai .
Tidak ada sesuatu terjadi secara kebetulan dan sia -- sia, semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Pengatur. Sebagai rasa syukur atas karunia  tersebut, saya tulis semuanya dengan harapan kita bisa meneladani kisah Ibu yang bijak itu, dimulai  dari diri kita sendiri -  dari hal yang kecil dan mulai saat ini. InsyaAllah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H