"Motor sampeyan ditinggal di sini saja, ikut mobil saya!"Â
Demikian ajakan Pak Imam Mudin. Saya pun menurut. Sebelum masuk ke dalam mobil, Pak Tri Wahjoedi meminta saya duduk di depan mendampingi sang driver. Saya pun menurut saja.
Dalam perjalanan menuju warung soto DPR, kami berbincang ringan. Baru beberapa meter meninggalkan masjid Nipah-Nipah, ada telepon masuk ke HP Pak Imam Mudin.
Untuk melayani sang penelepon, Pak Imam Mudin menepikan mobil pribadinya itu. Ada berkas (file) yang diminta oleh sang penelepon. Dengan begitu, perlu menghentikan mobil agar dapat mengirimkan berkas dengan nyaman.
Perjalanan dilanjutkan setelah Pak Imam Mudin mengirimkan berkas yang diminta lewat komunikasi melalui HP tersebut. Hanya beberapa menit mobil sudah sampai di tempat tujuan.
Pada sisi jalan depan warung sudah cukup banyak mobil yang terparkir. Untuk itu, Pak Imam Mudin memarkir mobilnya di seberang jalan, pada sisi jalur  di samping.
Seperti biasa, sebelum duduk kami memesan model makanan soto yang akan disantap. Lombok atau cabe berapa jumlahnya harus disebutkan karena lombok langsung dilumatkan pada mangkok. Tidak ada sambal yang terpisah.
"Saya lima lomboknya!" kata Pak Tri Wahjoedi.
Seperti biasa saya hanya berani dengan lombok satu biji dan nasi dipisah pada mangkok kecil. Nasi tidak dicampur dalam mangkok yang berisi racikan soto dengan kuah hangat.
Sambil menunggu pesanan dibuatkan, saya menyempatkan waktu dengan memotret pengunjung warung yang lain. Pada meja di belakang saya, ada rombongan pegawai dari Dinas Pwrpustakaan dan Arsip Kabupaten yang diketuai oleh Mbak Umi.Â