Lemari Kaca Masa Depan
Pagi ini aku merasa bersyukur karena dapat melihat adikku dapat tersenyum lepas. Dengan membentangkan handuk ukuran jumbo ia berseru dengan rona muka yang ceria. Ada motif bunga mawar pada sudut-sudut handuk itu.
"Terima kasih, Mas Heru yang ganteng!" tutur Hera sambil berlenggak-lenggok di depanku.
Handuk itu masih dibentangkan, diputar kiri kanan mengikuti gerak kaki dan badan Hera. Setelah puas ber-defile di kamarku, ia segera berlalu. Seperti waktu-waktu sebelumnya, ia akan segera menyimpan barang itu ke dalam lemari kaca yang dipajang di kamar tengah.
Sejak satu tahun yang lalu lemari kaca itu sudah ada di ruang tengah. Inisiatif membeli lemari kaca dengan tinggi dua meter, lebar satu setengah meter, dan tebal lima puluh sentimeter berasal dari ayah.
Barang-barang yang diminta Hera untuk persiapan pernikahan harus dijadikan satu dalam satu tempat. Tidak boleh dicampur dengan pakaian yang digunakan sehari-hari. Ibu sudah berkali-kali berkata seperti itu sejak dua tahun yang silam.
"Kenapa, sih, Bu menyiapkan barang-barang untuk pernikahan harus dimulai tiga tahun sebelum pelaksanaan?"
Begitu protesku kepada ibu tiga tahun yang lewat. Dengan sabar ibu menjelaskan bahwa keperluan untuk pernikahan seorang wanita itu sangat banyak. Sementara kondisi ekonomi keluarga kami pas-pasan saja.
"Dengan membeli barang keperluan sedikit demi sedikit akan terasa ringan. Kebutuhan yang kecil-kecil seperti barang untuk perlengkapan mandi, isi kamar tidur harus disiapkan jauh hari. Barang-barang itu khan tidak cepat busuk!" urai ibu dengan serius.
"Gajiku, gaji ayahmu, dan gaji Heru perlu disisihkan sebagian untuk memenuhi keinginan Hera!" tutur ibu bernada perintah.
Sejak saat itu, Hera selalu ceria. Jika ada info tentang pernak-pernik pernikahan, ia akan menimbang-nimbang untuk membeli atau tidak. Biasanya ia akan meminta saran dari Ibu.