Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jumlah Mata Pelajaran Ideal di Sekolah Formal

12 Februari 2023   20:45 Diperbarui: 12 Februari 2023   20:49 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah Mata Pelajaran Ideal di Sekolah Formal

Obrolan di Warung Kopi

Ada tiga orang bapak sedang menikmati kopi pagi di warung ujung desa. Sebenarnya sudah tidak pagi lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Bapak Adam minum kopi hitam tanpa gula. Bapak Budiman minum kopi jahe. Bapak Candra minum kopi susu. Masing-masing mempunyai pilihan sesuai selera.

"Pusing kepalaku hari ini. Anak pertama minta dibelikan laptop. Anak kedua minta ditemani untuk melakukan wawancara ke rumah Pak RT. Anak ketiga minta dibantu menggambar poster tentang sampah."

Pak Adam membuka percakapan kepada dua teman minum kopi di warung Bu Suliyah itu. Dua teman Pak Adam menyimak dengan saksama kalimat demi kalimat yang dituturkan dengan nada cukup berat.

"Terus, permintaan mana dulu yang akan dituruti?" tanya Bu Suliyah yang ikut mendengar keluh kesah Pak Adam.

"Ya, tergantung siapa yang paling kuat desakannya... tapi kelihatannya anak ragil yang paling semangat minta dibantu, " jawab Pak Adam dengan wajah berbinar.

"Terus kapan ke rumah Pak RT? Saya mau ke sana juga. Anak kita khan satu sekolah. Tugasnya sama!" Pak Budiman ikut berkomentar.

"Oh, ya. Saya baru tahu kalau anakmu juga satu tingkat dengan anakku. Saya pikir sudah kelas enam anakmu!" celoteh Pak Adam semakin berbinar wajahnya.

"Bagaimana kalau nanti sore habis asar kita bersama-sama ke sana?" Pak Candra ikut memberikan komentar.

"Keponakanku yang tinggal di rumah juga punya tugas yang sama!"

Bu Suliyah buru-buru memberikan tanggapan dengan wajah lebih sumringah.

"Untung, Bapak-Bapak kumpul di warung ini. Ada manfaatnya, khan? Makanya sering-sering janjian ke sini biar ada solusi kalau ada masalah bersama!"

Obrolan mereka terus bergulir. Acara minum kopi ternyata dapat membuahkan kesepakatan untuk kepentingan bersama.

Seorang wanita masuk ke warung Bu Suliyah. Tanpa banyak basa-basi, wanita itu langsung bertanya tentang jenis olahan masakan dari bahan singkong.

"Ada tape singkong, Bu?"

"Waduh, hari ini kosong. Pemasok tape sedang ada hajatan di rumah keluarganya di desa sebelah!"

Wanita itu tampak kecewa berat. Tape singkong yang dicarinya tidak ada di warung itu.

"Mau dibuat apa tape singkongnya, Bu?" tanya Bu Suliyah untuk mengorek keterangan.

"Itu, lho Bu. Ada tugas anak-anak. Katanya disuruh melakukan pengamatan proses pembuatan tape singkong. Apa dia bilang kearifan lokal, gitu. Anak saya kena jatah untuk melihat secara langsung proses pembuatan tape singkong itu."

Pak Adam yang mendengar cerita wanita itu pun bertanya sekolah tempat anak ibu itu belajar dan duduk di kelas berapa.

"Saya dari desa sebelah, Pak. Sudah ke mana-mana mencari tape singkong tapi belum ketemu. Sebenarnya saya beli tape singkong itu sebagai alasan untuk bertanya lebih lanjut, siapa pembuat tape singkong itu. Anak saya mau melakukan pengamatan dan wawancara dengan pembuat tape singkong itu."

Pak Budiman memberikan saran.

"Ibu bisa lihat di youtube. Kemudian praktik membuat sendiri. Praktis, Bu. Ndak perlu cari-cari pembuat tape singkong yang semakin langka."

"Iya, betul, Bu. Lihat di youtube, kemudian bikin sendiri. Anak ibu yang disuruh mengamati dan mewawancarai ibu!" Bu Suliyah ikut memberikan penguatan saran Pak Budiman.

"Terima kasih saran Bapak dan Ibu. Saya permisi dulu."

Dialog di Kafe Ceria

Kafe Ceria pada sore menjelang senja cukup ramai dikunjungi para tamu. Bukan hanya muda-mudi yang senang nongkrong di kafe itu. Tampak pada sebuah sudut ruang ada empat lelaki setengah baya sedang asyik berbincang. Mereka membahas jumlah mata pelajaran yang ideal untuk sekolah formal.

"Saya kasihan pada istri di rumah. Setiap hari sibuk membantu mengerjakan PR anak-anak. Semakin hari bukan semakin berkurang. PR dari guru anak-anak semakin banyak!"

Pak Dedy mengeluh kondisi di rumah tangganya.

"Memang jumlah mata pelajaran di sekolah itu terlalu banyak!" sahut Pak Eko dengan tenang.

"Apa jumlahnya bertambah dibandingkan kurikulum sebelumnya. Katanya sekarang ini pakai Kurikulum Merdeka, " tutur Pak Fajar yang begitu awam dengan dunia pendidikan.

"Namanya saja yang pakai kata Merdeka, tetapi jumlah mata pelajaran tetap sama, sepuluh biji!" ucap Pak Eko sambil memperlihatkan sepuluh jari kedua tangannya.

"Pantesan, sepuluh mata pelajaran. Satu minggu semua guru memberikan tugas, berarti ada sepuluh PR untuk anak-anak di rumah. Waduh, ini perlu diprotes!" ucap Pak Dedy berapi-api.

"Benar, Pak Dedy. Saya setuju. Terus kita protes ke mana?" Pak Eko menatap wajah ketiga temannya satu per satu.

"Begini," ucap Pak Gatot dengan tenang, "sebagai anggota dewan, saya akan mengumpulkan aspirasi masyarakat. Apa keluhan yang dialami. Apa kendala yang dihadapi. Terus apa saran yang mau disampaikan."

"Sejak awal saya sudah sampaikan keluhan anak saya. Istri saya kewalahan membantu anak-anak mengerjakan PR. Saran saya, ya, dikurangi jumlah mata pelajaran di sekolah!" Pak Dedy berbicara dengan nada agak tinggi.

"Betul, saya setuju!" Pak Eko dan Pak Fajar berujar hampir bersamaan.

Pak Gatot mengangguk-anggukkan kepala pertanda memahami keluhan ketiga teman mengopi di kafe itu. Sebagai anggota DPRD ia selalu berusaha menggali aspirasi masyarakat. Melalui ngopi bersama, percakapan dapat dilakukan dengan santai meskipun masalah yang dibahas sangat serius.

"Kalau boleh tahu, berapa dikurangi jumlah mata pelajaran di sekolah?" tanya Pak Gatot serius.

"Mau saya, ya, separuhnya. Dari sepuluh, cukup lima saja!" tutur Pak Eko.

"Sangat setuju!" jawab Pak Dedy.

"Setuju sekali!' sahut Pak Fajar.

Obrolan di kafe Ceria dan warung kopi Bu Suliyah memiliki kemiripan. Pada intinya, mereka keberatan terhadap tugas-tugas yang diberikan guru untuk anak-anak di rumah. Tugas yang diberikan terlalu banyak. Hal itu dipicu oleh jumlah mata pelajaran yang tidak sedikit.

Usul yang disampaikan, jumlah mata pelajaran dikurangi. Sebelumnya ada sepuluh mata pelajaran. Kemudian diusulkan hanya separuhnya, yaitu lima mata pelajaran saja.

Bagaimana menurut Anda?

Penajam Paser Utara, 12 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun