"Pantesan, sepuluh mata pelajaran. Satu minggu semua guru memberikan tugas, berarti ada sepuluh PR untuk anak-anak di rumah. Waduh, ini perlu diprotes!" ucap Pak Dedy berapi-api.
"Benar, Pak Dedy. Saya setuju. Terus kita protes ke mana?" Pak Eko menatap wajah ketiga temannya satu per satu.
"Begini," ucap Pak Gatot dengan tenang, "sebagai anggota dewan, saya akan mengumpulkan aspirasi masyarakat. Apa keluhan yang dialami. Apa kendala yang dihadapi. Terus apa saran yang mau disampaikan."
"Sejak awal saya sudah sampaikan keluhan anak saya. Istri saya kewalahan membantu anak-anak mengerjakan PR. Saran saya, ya, dikurangi jumlah mata pelajaran di sekolah!" Pak Dedy berbicara dengan nada agak tinggi.
"Betul, saya setuju!" Pak Eko dan Pak Fajar berujar hampir bersamaan.
Pak Gatot mengangguk-anggukkan kepala pertanda memahami keluhan ketiga teman mengopi di kafe itu. Sebagai anggota DPRD ia selalu berusaha menggali aspirasi masyarakat. Melalui ngopi bersama, percakapan dapat dilakukan dengan santai meskipun masalah yang dibahas sangat serius.
"Kalau boleh tahu, berapa dikurangi jumlah mata pelajaran di sekolah?" tanya Pak Gatot serius.
"Mau saya, ya, separuhnya. Dari sepuluh, cukup lima saja!" tutur Pak Eko.
"Sangat setuju!" jawab Pak Dedy.
"Setuju sekali!' sahut Pak Fajar.
Obrolan di kafe Ceria dan warung kopi Bu Suliyah memiliki kemiripan. Pada intinya, mereka keberatan terhadap tugas-tugas yang diberikan guru untuk anak-anak di rumah. Tugas yang diberikan terlalu banyak. Hal itu dipicu oleh jumlah mata pelajaran yang tidak sedikit.