Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merdeka Belajar Tidak Merdeka bagi Guru?

26 November 2022   05:14 Diperbarui: 27 November 2022   10:15 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perjuangna guru. (sumber: Heryunanto/KOMPAS.ID)

Merdeka Belajar Tidak Merdeka bagi Guru?

Pada pekan-pekan ini para guru di Sekolah Penggerak Angkatan Kedua sedang disibukkan dengan implementasi Kurikulum Merdeka. 

Mereka baru saja mendapatkan pelatihan untuk melaksanakan kurikulum "baru" tersebut. Satu hal yang menjadi fokus dalam kurikulum tersebut adalah "pembelajaran berdiferensiasi". Proses pembelajaran yang berdiferensiasi perlu persiapan matang.

Seorang guru di Sekolah Penggerak tidak boleh hanya asal-asalan menamakan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelasnya dengan KBM yang sudah berdiferensiasi hanya dengan teknik membagi kelas menjadi tiga kelompok. 

Kelompok A dikatakan kelompok untuk peserta didik yang dikatakan "pintar" dari sisi kognitif. Kemudian kelompok B adalah kelompok peserta didik yang dikategorikan "menengah". 

Kelompok ini dikatakan pintar masih belum, dikatakan masih "oon" juga tidak. Kemudian kelompok C disebut sebagai peserta didik yang "masih jauh dari yang diharapkan".

Guru harus berhati-hati membuat kelompok-kelompok seperti itu agar peserta didik tidak "sakit hati". Mengapa? 

Seorang peserta didik yang pada masa Sekolah Dasar merasa tergolong kelompok "pintar" kemudian pada saat masuk kelas tujuh SMP tiba-tiba dimasukkan pada kelas "lower" atau kelompok C, pasti akan "berduka cita".

Guru pada jenjang SMP harus mencari tahu latar belakang para peserta didik pada saat masih bersekolah di SD. (Wah, ribet, ya? 

Namanya Sekolah Penggerak, ya... harus rajin bergerak). Memang harus ribet kalau menginginkan tidak ada protes dari peserta didik dan orang tuanya.

Lantas, tes awal (diagnostik) terkait kognitif bagaimana cara melakukannya?

Pada intinya, bagaimana guru memberikan "kata pengantar" sebelum melakukan tes awal atau asesmen awal tersebut.

Guru jangan sekali-sekali mengatakan bahwa asesmen awal bertujuan untuk membagi kelompok menjadi kelompok pintar, kurang pintar, dan tidak pintar. Guru harus pandai mengolah kalimat yang dapat membuat hati dan peraaan peserta didik merasa sejuk.

"Anak-anak yang Bapak/Ibu banggakan, kami akan melakukan semacam observasi atau latihan soal untuk mengetahui apakah kalian sudah memahami topik atau tema yang akan kita pelajari bersama. 

Tujuan dari latihan soal ini adalah untuk membantu kalian semua dapat dengan cepat memahami topik yang akan dipelajari nanti. Jadi hasil dari latihan soal tidak akan mempengaruhi apa pun. Kerjakan soal sesuai yang kalian ketahui. 

Kalau memang tidak tahu, ya katakan tidak tahu. Tidak perlu melihat pekerjaan teman lain atau membuka-buka buku. Mengapa? 

Bapak/Ibu guru ingin mengetahui sejauh mana topik yang akan kita pelajari bersama nanti sudah kalian kenal atau kalian mengerti. Bagaimana, bisa dipahami maksud Bapak/Ibu guru?"

Bandingkan kalimat pengantar di atas dengan kalimat pengantar di bawah ini!

"Anak-anak, Bapak/Ibu guru akan mengetes kalian, apakah kalian termasuk siswa yang pandai, setengah pandai, atau belum pandai! 

Jadi, setelah selesai mengerjakan soal ini nanti, kalian akan Bapak/Ibu kelompokkan menjadi tiga kelompok. Apakah kalian termasuk kelompok yang pandai, setengah pandai, atau belum pandai. Bagaimana? Siap ya!"

Bagaimana Bapak/Ibu guru, sudah dapat membandingkan, bukan? Contoh yang kedua akan membuat peserta didik "takut" dan "jatuh mental". 

Mereka akan bersedih jika nantinya akan dimasukkan dalam kelompok "belum pandai". Rasa rendah diri akan muncul dan sikap dan perilakunya akan berbeda jika seandainya mereka dimasukkan dalam kelompok "pandai".

Guru Semakin Repot?

Guru-guru yang melaksanakan Program Sekolah Penggerak (PSP) atau melaksanakan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) akan dibuat repot dan sibuk dengan menyiapkan seperangkat asesmen untuk membantu peserta didik memahami CP (Capaian Pembelajaran) yang sudah dijabarkan dalam TP (Tujuan Pembelajaran), ATP (Alur Tujuan Pembelajaran), dan Modul Ajar.

Dalam PSP dan IKM peserta didik adalah subjek belajar yang harus mendapatkan pelayanan prima untuk memahami CP-CP pada fase-nya. Untuk jenjang SMP, peserta didik berada pada fase D. Selama tiga tahun banyak CP yang harus dikuasai peserta didik. 

Para guru di sebuah sekolah yang menerapkan pembelajaran berdiferensiasi harus berkolaborasi. 

Kerja sama antarguru sangat dibutuhkan agar didapatkan data yang benar terhadap peserta didik. Setelah mengetahui "posisi" setiap peserta didik, program pendampingan dalam belajar perlu dirancang bersama dipimpin kepsek.

Perlu diingat bahwa tidak ada peserta didik yang "bodoh". Semua peserta didik adalah aset yang harus "berkembang" potensi dan kreativitasnya. Para guru harus "repot" mengumpulkan data kemajuan setiap peserta didik dalam memahami CP yang sedang dipelajari. 

Asesmen formatif harus menjadi acuan untuk melakukan perbaikan proses pembelajaran. Guru tidak lagi "sembarangan" menerapkan metode, strategi, dan model pembelajaran. Setiap langkah lanjutan dalam proses pembelajaran harus berdasarkan catatan-catatan asesmen formatif.

Pada intinya, guru mengikuti "alur" belajar peserta didik. Guru mengarahkan "alur" itu sehingga tiba pada sasaran (CP) dengan baik.

Kepala sekolah harus selalu memantau perkembangan proses pembelajaran setiap guru. Kendala yang dihadapi harus segera dipecahkan agar peserta didik yang mengalami "kelambatan" dalam memahami suatu TP segera dapat diatasi.    

 Merdeka itu nama

Istilah "merdeka" sejatinya hanyalah nama yang disematkan pada jenis kurikulum yang baru diujicobakan di Indonesia. 

Dengan menerapkan Kurikulum Merdeka, bukan berarti guru benar-benar "merdeka" dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Justru sebaliknya, guru akan semakin sibuk dengan persiapan administrasi dan melayani setiap kelompok di kelas yang didampinginya. 

Guru harus lebih banyak membaca, menonton, dan berdiskusi agar bertambah wawasan dan menemukan penyelesaian dari persoalan yang dihadapi di kelas.

Selamat berjuang para guru Indonesia.

 

Penajam Paser Utara, 26 November 2022

*Tantangan Omjay Menulis di Blog

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun