Di dalam kehidupan sosial manusia selalu berkelompok. Manusia berkelompok atau bergabung dalam suatu organisasi/wadah dikarenakan punya kesamaan maksud dan tujuan tertentu. Dalam perkataan lain, itu terjadi karena antara manusia satu dengan lainnya memiliki kepentingan yang sama (like interest).
Tidak bedanya dengan kondisi masyarakat kita yang majemuk (plural) dimana terdiri dari berbagai kelompok kepentingan, baik yang bertujuan sosial kemasyarakatan, politik maupun ekonomi dengan segala atribut yang disandang untuk memperkuat eksistensi organisasinya.
Pada konteks kenegaraan, bergabungnya berbagai kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan pandangan, aspirasi dan segala konsep pemikiran, sehingga lahirlah apa yang dinamakan partai-partai politik dengan nomenklatur dan lambang partai, visi dan misi, tujuan, sasaran, program-program yang diunggulkan serta struktur organisasi, dan jika lebih lengkap lagi disertai indikator kinerja.
Komunikasi elit parpol dan fungsi kepentingan
Bisa dicontohkan ketika pemilu presiden tahun 2014 lalu, muncul koalisi partai bernama Koalisi Merah Putih atau KMP (pendukung Prabowo-Hatta) dan Koalisi Indonesia Hebat atau KIH (pendukung Jokowi-Kalla). Dua kubu ini bertarung untuk memperebutkan singgasana Indonesia 1 dan Indonesia 2, baca: Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2014 – 2019.
Demikian halnya pada perhelatan politik dalam rangka pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2015 ini, peta politik di masing-masing daerah menampakkan dinamika yang cukup menarik dicermati. Konstelasi politik ternyata berbeda dengan keadaan di pusat ketika Pilpres berlangsung, dimana di daerah koalisi KMP dan KIH tidak berlaku. Justru yang terjadi adalah percampuran antarpartai dalam mengusung dan mendukung pasangan calon kepala daerah.
Di Kabupaten Sleman (DIY) misalnya: Partai PDI Perjuangan dan Partai Gerindra bersatu padu mengusung/mendukung pasangan calon bupati/wakil bupati (pasangan Yuni Satia Rahayu – Danang Wicaksana). Di Kabupaten Gunungkidul Badingah – Immawan Wahyudi diusung dan didukung partai koalisi yaitu PAN, Nasdem, dan Hanura. Sedangkan di Kabupaten Bantul pasangan Suharsono dan Abdul Halim Muslih diusung partai politik yaitu Partai Gerindra, PKB. Di daerah lainpun fenomena serupa juga terjadi, sehingga istilah KMP dan KIH yang digagas para elit politik di pusat tidak berlaku dalam percaturan politik di daerah.
Gambaran peta politik dalam pilkada 2015 tersebut jelas menunjukkan bahwa: sikap politik = fungsi dari kepentingan. Melalui deal-deal komunikasi politikpun para elit partai telah bergerak ikut serta mengusung atau mendukung pasangan calon kepala daerah tertentu, yang notabene menurut perhitungan mereka akan menguntungkan. Ini sejalan dengan pandangan pemerhati komunikasi Skinner yang menyebutkan bahwa manusia akan berkomunikasi dan bergabung dalam suatu wadah bersama bilamana mendatangkan atau memberi keuntungan.
Realitas politik demikian juga sekaligus mematahkan konsep/pernyataan politik yang pernah terlontar di kalangan KMP bahwa kesepakatan koalisi permanen semakin jauh dari apa yang diharapkan. Ini pulalah yang sering disebutkan dalam adagium politik bahwa tidak ada kawan maupun lawan yang abadi atau permanen, kecuali yang ada hanyalah kepentingan.
Jangan hanya politik dagang sapi
Pada tataran politik praktis, terutama dalam pertarungan untuk meraih kekuasaan memang kerap terjadi apa namanya proses bargaining power dan bargaining position. Proses tawar-menawar antar elit parpol sulit dihindari mengingat kepentingan berupa siapa, harus bagaimana dan mendapatkan apa menjadikan target yang telah terkonsep sebagai salah satu tujuannya.
Di tingkat urusan kenegaraan level nasional sangat boleh jadi posisi menteri dalam kabinet menjadi incaran para elit parpol pengusung maupun pendukung, sedangkan pada tingkat daerah bisa saja berupa pemenuhan kepentingan tertentu misalnya ‘bagi-bagi kue pembangunan’ alias proyek di lingkup kawasan lokal, ataupun kepentingan strategis lainnya.
Proses tawar-menawar untuk memenuhi kepentingan inilah yang sering disebut ‘politik dagang sapi’. Gejala demikian sepertinya tidak akan pernah hilang dalam perpolitikan di negeri ini, baik di tingkat pusat maupun daerah, dan bahkan mengingat berlangsung dari masa ke masa dalam era kepemimpinan siapapun, pratek ‘politik dagang sapi’ ini sepertinya masih akan berkelanjutan. Itukah kultur politik kita?
Memang pada satu sisi, dapat dipahami bahwa dalam dunia politik praktis yang cenderung berfokus pada perebutan kursi kekuasaan, sehingga proses tawar-menawar kepentingan kerap terjadi antar elit parpol/petinggi parpol melalui komunikasi politik yang dijalankan. Kalkulasi politik ke depan atas dasar untung dan rugi sudah bukan menjadi sesuatu yang rahasia lagi, kondisi demikian masih akan terus berlangsung dari waktu ke waktu.
Akan tetapi pada sisi lain dalam perspektif demokrasi, berlangsungnya ‘politik dagang sapi’ ini sangatlah memiliki sisi-sisi negatif karena cenderung hanya memenuhi kepentingan segelintir orang yang duduk sebagai elit/petinggi parpol tertentu. Sementara rakyat di akar rumput sebagai konstituennya seringkali diabaikan/dilupakan aspirasinya.
Terkait hal itu alangkah eloknya bilamana para elit parpol atau petinggi-petingginya mau sejenak merenung dan bercermin diri, termasuk dalam pelaksanaan Pilkada 2015 janganlah hanya ‘berpolitik dagang sapi’ untuk memenuhi kepentingan pragmatis berdasarkan perhitungan untung rugi yang berjangka pendek/sesaat semata.
Jauh lebih penting bagi pimpinan yang telah terpilih dan para pengusung/pendukungnya yaitu serius melaksanakan program-program yang telah dicanangkan sehingga memberdayakan rakyat di daerahnya. Ini merupakan kontribusi nyata yang berjangka panjang demi memenuhi kepentingan serta keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa.
Suprapta.-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H