Mohon tunggu...
Suprapdi
Suprapdi Mohon Tunggu... Lainnya - Business Law

Akun Opini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apakah Make Up dan Skincare Merupakan Bagian dari Nafkah Suami dalam Perspektif Hukum Islam?

22 November 2021   22:40 Diperbarui: 24 November 2021   16:37 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber/ilustrasi gambar :Liputan6.com 

Menggunakan make up dan skincare pada saat ini menjadi sebuah hal yang diperlukan oleh wanita, bahkan pria sendiripun tidak menuntut kemungkinan untuk menggunakannya juga, dan hal ini juga sah-sah saja. Make up dan skincare sendiri merupakan bentuk perawatan kulit wajah agar terlihat cantik, bagus, bersih, dan enak dipandang oleh orang lain. Dengan ini sudah seharusnya dikaitkan dengan syariat, apakah make up dan skincare merupakan bagian dari nafkah suami yang harus dipenuhi ?

Make up dan skincare merupakan kebutuhan istri yang harus dipenuhi oleh suami selama memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.

1.Make up dan skincare tersebut digunakan oleh istri untuk kebutuhan yang halal (Kebutuhan dirumah atau untuk kebutuhan suaminya). Seorang istri tampil menarik itu menjadi bagian dari adab-adabnya untuk menjaga 'afaf suami, dan juga untuk mengokohkan mawaddah di antara kedua pasangan tersebut.

Tetapi, jika sebaliknya kebutuhan make up dan skincare ini jika digunakan untuk kebutuhan yang tidak halal, seperti tampil tabarruj di depan publik atau untuk tontonan orang banyak, baik itu online atau offline maka itu kebutuhan yang tidak halal dan tidak boleh dipenuhi oleh suaminya.

Sebagaimana hadist Rosulullah SAW, "Sebaik-baik wanita (Istri) adalah yang menyenangkanmu apabila engkau memandangnya, yang taat apabila engkau memerintahnya, dan yang menjaga diri dan hartamu saat engkau tidak ada (pergi)" (HR. ath-Tabrani).

2.Suaminya mampu menyediakan biaya tersebut, terlebih untuk biaya membeli make up dan skincare tersebut tidak sedikit. Oleh karena itu,saat suaminya tidak mampu menyediakan biaya tersebut, kewajibannya menjadi gugur dan prioritasnya yang harus di penuhi dalam menunaikan kebutuhan keluarga yang lebih mendasar.

3.Menggunakan make up dan skincare dengan kadar lazim dan tidak berlebih-lebihan. Berapa besaran biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan make up dan skincare istri ini merujuk pada produk sejenis yang digunakan oleh para istri pada umumnya. Keumuman dan kelaziman ini menjadi penting agar tetap dalam batas proposional dalam artian tidak berlebih-lebihan, dan juga tidak kekurangan.

4.Sesuai dengan skala prioritas, dikarenakan kemampuan dalam keuangan keluarga itu berbeda-beda, ada yang standar, surplus, dan bahkan defisit. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan musyawarah antara suami dan istri tersebut untuk menempatkan kebutuhan make up dan skincare dalam urutan skala prioritas, kemudian untuk kebutuhan make up dan skincare ini juga diperlukan pertimbangan terlebih dahulu perlu dipenuhi atau tidak.

Kesimpulan dan penjelasan diatas berdasarkan pada perbedaan pendapat antara para ulama dalam menafsirkan cakupan dan kebutuhan apa saja yang termasuk nafkah yang harus dipenuhi oleh suami. Sebagaian ulama lain juga hanya memaknai nafkah yang dimaksud hanya kebutuhan-kebutuhan dasar saja. Seperti kebutuhan pakaian, tempat tinggal, makanan, dan sejenisnya. Namun, sebagain ulama yang lain juga memasukan kebutuhan lainnya, seperti make up, skincare seperti dalam bahasan ini.

Seperti, al-Fatawa al-Hindiyah Mathalib Ulin Nuha lir Rahibani al-Hambali dan asy-Syarhu Shaghir ad-Dardiri al-Maliki menyebutkan bahwa yang harus disediakan suami adalah kebutuhan kosmetik istri untuk membersihkan kotoran. Seperti sisir dan minyak. Namun, kebutuhan kosmetik untuk kebutuhan lain seperti untuk alis itu tidak wajib.

Syekh Athiya Saqr menyimpulkan pandangan al-Khatib dalam iqhna' bahwa kebutuhan yang wajib dipenuhi itu yang terkait dengan kebersihannya, tetapi kebutuhan kosmetik tidak wajib. Sedangkan dalam mahzab Hambali, menjelaskan kosmetik menjadi wajib saat istri meminta. Tetapi menurut Saqr, esensi pendapat para ahli fikih itu adalah kelaziman atau keumuman serta yang termasuk kategori muasyarah bil ma'ruf. (Syekh Athiya Saqr, Mausu'athu al-Usroh 3/192 menukil dari al-iqhna'/191 dan al-Mughni970).

Menurut Dr. Oni Sahroni, MA yang merupakan anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), menjelaskan terkait pendapat para ahli fikih tersebut sangat terkait dengan tujuan berhias untuk siapa dan kondisi seperti apa, dan juga sangat terkait dengan 'urf atau tradisi serta kemampuan dan kelaziman. 

Tegasnya, kebutuhan make up dan skincare para istri tersebut merupakan bagian dari nafkah saat suami mampu menunaikannya dengan besaran biaya yang lazim dan normal. Besaran kelaziman tersebut sangat terkait dengan kelaziman masyarakat pada umumnya bukan pada komunitas tertentu. Sebagaian kesimpulan dasar ini ditegaskan dalam prinsipnya oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi.

Wallahu'alam.....

Selengkapnya bisa dibaca di http://bit.ly/MuamalahDaily_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun