Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati humaniora dan lingkungan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalaman Tak Terlupakan Buyung Nurman Jadi "Juru Pantau" Sebelum Pernikahan

9 Februari 2021   18:26 Diperbarui: 9 Februari 2021   19:08 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Buyung Nurman adalah seorang penyuluh pertanian terbaik di Provinsi Bengkulu. Ia berkisah tentang juru pantau di desanya dengan gaya saya. Berikut penuturannya. Beruntung masa kecil saya dapat dihabiskan di desa yang membuat saya bisa menikmati keasrian suasana desa yang menggambarkan keramahan penduduknya yang kental memegang dan melaksana adat istiadatnya.

Desa Lubuk Langkap yang terletak lebih kurang 30 km. dari Manna ibukota kabupaten Bengkulu Selatan, di sinilah saya di tempah bagaimana berpartisipasi terhadap kegiatan penduduknya sehari-hari. Satu hal yang tak terlupakan ketika musim pesta perkawinan tiba, yang biasanya di gelar disaat usai panen padi.

Partisipasi masyarakat pada acara ini sangat diperlukan oleh si empunya acara, mengingat rangkaian acaranya cukup banyak menjelang hari puncak penyelenggaraanya, mulai dari mengumpulkan bambu, kayu, tali dan dedaun sampai mendirikan pengujung, tempat masak, atatar, dan lain-lain.

Di samping itu yang tak kala pentingnya pada rangkaian pesta ini adalah musyawarah adik beradik dan beberapa minggu setelahnya diadakan musyawarah adik sanak dusun halaman.

Musyawarah adik beradik ini hanya diikuti oleh penduduk desa yang memiliki hubungan kekerabatan yang relatif masih dekat serta yang dibicarakanpun terbatas pada bagaimana cara mengumpulkan bahan dan peralatan yang diperlukan pada pelaksanaan pesta itu nanti, sedangkan musyawarah adik sanak dusun halaman ini musyawarah yang melibatkan semua penduduk desa serta yang dibahaspun lebih kompelek dan detail.

Tidak hanya kapan mendirikan pengujung dan pengumpulan peralatan lainnya, tetapi di musyawarah ini juga ditentukan petugas-petugas yang akan melakukan seabrek ritual pada saat pesta berlangsung nantinya, antara lain menentukan ketua kerja, tukang masak, tukang katang (angkat), bujang inang, gadis bilik, ketua menda, dan gadis kecil, serta tukang panggil (juru pantau).

Pada tahapan musyawarah inilah terlihat nyata peranserta aktif dari penduduk desa untuk ambil bagian dengan menjadi petugas yang di perlukan itu.

Pada musyawarah adik sanak dusun halaman inilah terpotret berapa banyak " Jungku " di desa itu dengan cara mengamati berapa banyak "Lengguwai" atau   Cerano menghampiri peserta musyawarah,  jika lengguwai di bawah berkeliling  8-9 kali, berarti itulah jumlah jungku di desa tersebut.

Jungku istilah adat yang mengelompokan sebagian penduduk desa berdasarkan asal usul yang memiliki hubungan kekerabatan yang relatif dekat. Kala itu desa lubuk langkap ada kisaran 8-9 jungku.

Kudapan yang disajikan usai musyawarah itu juga khas berupa  "lupis"  yaitu kue yang terbuat dari beras ketan yang di bungkus daun dan berbentuk segi tiga lalu dikukus serta disantap bersama kuwa yang terbuat dari santan kelapa di campur gula aren.

Bapak saya Marzuki Djuansah tidak ketinggalan, juga berpartisifasi untuk mengambil salah satu petugas yang di perlukan itu dan biasanya paling tidak posisi tukang panggil ( juru pantau) yang sudah pasti dilimpahkan kepada saya atau keponakanya.

Menjadi tukang panggil sangat asik dan menyenangkan, betapa tidak, saya bisa mengunjungi semua rumah penduduk desa lubuk langkap yang sekaligus mengenal seisi rumah serta  mengetahui tuturan dengan yang di panggil.

Saya masih ingat betul adab tata kerama cara memantau ini.  Dengan berpakaian sopan; pakai sarung dan peci terus mendatangi rumah yang dipantau, lalu ketika ketemu sasaran dengan duduk seperti orang mau pencak, satu lutut kaki di tegakan dan satu kaki dengan jari di jinjit dan berucap : " Jadilah jak disini dang/mamak/wak/nek,  saya di ajung dang/wak/mamak/wak/nek (yang hendak pesta). 

Ngendaki kaba/dighi datang keghuma au malam ini peragau, pagi masak lemang lusau nunggu menda seterusau  njamu.  Indonesianya :  jadilah dari sini kak/paman/wak/nenek, saya disuruh  kak/paman/wak/nenek (yang punya hajat). Menginginkan kamu hadir kerumahnya malam hari nanti, untuk ngobrol, besok masak lemang, lusa menyambut tamu seterusnya makan bersama.

Predikat sebagai juru pantau itu sering saya sandang, entah  berapa kali jumlahnya saya tidak ingat lagi.
Hal yang mengembirakan jika kebetulan yang menyelenggarakan pesta memotong sapi atau kerbau maka semua tukang akan mendapatkan Peningau (insentif) berupa daging.

Inilah sekelumit kenangan yang sulit terlupakan dimasa kecil menjelang remaja di desa yang telah melahirkan banyak orang hebat di bidangnya masing-masing, yang tersebar seanterio negeri bahkan salah seorang penduduknya meraih gelar akademi tertinggi yang merupakan kebanggaan kami asal desa terpencil Lubuk Langkap yaitu Prof. Dr. Ir. Supli Effendi Rahim, M.Sc.

Jayalah kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun