Bapak saya Marzuki Djuansah tidak ketinggalan, juga berpartisifasi untuk mengambil salah satu petugas yang di perlukan itu dan biasanya paling tidak posisi tukang panggil ( juru pantau) yang sudah pasti dilimpahkan kepada saya atau keponakanya.
Menjadi tukang panggil sangat asik dan menyenangkan, betapa tidak, saya bisa mengunjungi semua rumah penduduk desa lubuk langkap yang sekaligus mengenal seisi rumah serta  mengetahui tuturan dengan yang di panggil.
Saya masih ingat betul adab tata kerama cara memantau ini. Â Dengan berpakaian sopan; pakai sarung dan peci terus mendatangi rumah yang dipantau, lalu ketika ketemu sasaran dengan duduk seperti orang mau pencak, satu lutut kaki di tegakan dan satu kaki dengan jari di jinjit dan berucap : " Jadilah jak disini dang/mamak/wak/nek, Â saya di ajung dang/wak/mamak/wak/nek (yang hendak pesta).Â
Ngendaki kaba/dighi datang keghuma au malam ini peragau, pagi masak lemang lusau nunggu menda seterusau  njamu.  Indonesianya :  jadilah dari sini kak/paman/wak/nenek, saya disuruh  kak/paman/wak/nenek (yang punya hajat). Menginginkan kamu hadir kerumahnya malam hari nanti, untuk ngobrol, besok masak lemang, lusa menyambut tamu seterusnya makan bersama.
Predikat sebagai juru pantau itu sering saya sandang, entah  berapa kali jumlahnya saya tidak ingat lagi.
Hal yang mengembirakan jika kebetulan yang menyelenggarakan pesta memotong sapi atau kerbau maka semua tukang akan mendapatkan Peningau (insentif) berupa daging.
Inilah sekelumit kenangan yang sulit terlupakan dimasa kecil menjelang remaja di desa yang telah melahirkan banyak orang hebat di bidangnya masing-masing, yang tersebar seanterio negeri bahkan salah seorang penduduknya meraih gelar akademi tertinggi yang merupakan kebanggaan kami asal desa terpencil Lubuk Langkap yaitu Prof. Dr. Ir. Supli Effendi Rahim, M.Sc.
Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H