Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati humaniora dan lingkungan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneropong Kesuksesan Diri Kita sebagai Manusia

9 September 2020   04:03 Diperbarui: 9 September 2020   07:09 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Semua orang itu ingin sukses. Sukses yang seperti apa? Tentu saja sukses dalam hidup dan juga yang paling perlu adalah sukses dalam mati. Ukuran sukses itu jika kita serahkan kepada manusia pasti tidak ada yang hitam putih, pasti bias, pasti tidak tuntas. Tapi apakah sukses di dunia ini ada jaminan untuk sukses di akhirat? Tulisan ini mencob meneropong kesuksesan yang sesungguhnya.

Latar Belakang

Saya menulis ini karena saya dianggap sukses oleh banyak kalangan. Saya katakan bahwa kesuksesan dunia itu tidak ada jaminan. Sukses yang utama itu adalah sukses di akhirat. Kenapa, karena sukses di dunia ini tidak "genuine". Apa pula itu? Tidak genuine karena ukurannya apa? Kalau harta, maka harta itu akan banyak pertanyaannya. Dari mana dan baginanpa kau mendapatkannya serta bagaimana atau untuk apa kau membelanjakannya? Seorang Abdurrahman bin Auf menangis sejadi-jadinya ketika diberitahu bahwa dia akan terlambat masuk surga 500 tahun karena perlu waktu untuk menghisab semua hartanya dengan pertanyaan dan bukti yang "njelimet". 

Demikian juga jika ukuran kesuksesan adalah pangkat, jabatan, gelar, ilmu maka itu juga tidak jaminan sebagai ukuran sukses dunia akhirat. Kenapa tidak ada jaminan? 

Karena semua itu hanyalah ujian dari Sang Pencipta apakah kita syukur nikmat atau tidak, apakah kita justru menjadi kufur nikmat? Ada yang diberi sedikit, ada yabg diberi banyak, ada yang tidak diberi. Itu tidak jadi masalah karena Allah tidak melihat harta dan rupa kita tetapi Allah melihat hati dan amal-amal kita.

Ukuran Kesuksesan dunia akhirat

Tidak ada ukuran yang terbaik selain melihat, membandingkan dan mempedomani alquran, kitabullah dan  al-hadist, contoh dari kehidupan nabi Muhammad saw. 

Apa sudah ada kehidupan nabi pada kita, pada saya? Saya mengaku jujur, saya penulis bersumpah demi Allah bahwa saya belum hidup seperti nabi. Hiks hiks. Masih sangat jauh.

Apa yang semestinya kita tiru dari nabi tetapi tidak kita tiru.

Pertama, nabi hidup sederhana, kita hidup poya-poya. Nabi hidup sederhana karena banyak sedekah. Kita hidup poya-poya dan pelit dalam sedekah.

Kedua, nabi tidak menumpuk harta, kita selalu menumpuk harta. Banyak masuk sedikit keluar.

Ketiga, nabi memikirkan agama bagaimana agama ini wujud dalam keluarga kita, diri kita, orang sekeliling kita. Sebaliknya kita hidup dari agama, mematikan agama dan melibas orang beragama bahkan menzalimi orang beragama.

Keempat, nabi Muhammad mencintai orang beragama, tetapi kita sering membenci orang beragama.

Kelima, nabi Muhammad saw banyak menangis kita malahan banyak tertawa. Jika tertawa nabi hanya senyum kita tertawa terbahak-bahak.

Keenam, nabi banyak beristighfar. Kita banyak menyombongkan diri.

Ketujuh, nabi banyak baca quran dan berzikir, kita banyak baca koran dan lihat HP yang penuh kesia-siaan.

Kedelapan, nabi selalu berdakwah mengajak kepada Allah, kepada tauhid,  kita banyak berdakwah kepada dholalah, kepada kesesatan dan kesyirikan.

Kesembilan, nabi selalu shalat malam, kita banyak tidur terlalu malam.

Kesepuluh, nabi kaki bengkak karena banyak ibadah kita kaki bengkak karena banyak salah.

Kesebelas, nabi banyak puasa sementara kita banyak makan.

Kedua belas, nabi sedikit tidur sebaliknya kita sedikit sedikit tidur.

Ketiga belas, nabi kita berilmu untuk memudahkan hidup orang lain, mengayomi orang lain tetapi kita berilmu untuk menyusahkan orang lain, dan bahkan menzalimi orang lain.

Keempat belas, nabi hidup yakin dan bertawakal hanya kepada Allah, sebaliknya kita yakin kepada kepintaran dan usaha kita. 

Catatan penutup

Jadi demikianlah keadaan saya dan mungkin juga keluarga saya serta mahasiswa saya. Saya bertaubat kepada Allah dan meminta ampun kepadaMu ya rabb jika saya salah memberi contoh dalam hidup ini.  Kepada para pembaca berhentilah mengagumi selain Allah. Kagumilah Allah dan rasulNya karena hanya begitu hidup kita akan ikhlas tidak penuh dengan kesemuan dan kepalsuan.

Bunuhlah diri kita sebelum kita mati  agar kita tidak sombong, tidak syirik, tidak minder untuk urusan dunia yang menipu ini. 

Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Tuhan pasti kan tunjukkan kebesaran dan kuasaNya. Bagi hambaNya yang bersyukur dan tak pernah putus asa.

Sukses yang sesungguhnya adalah apabila kita sudah dimasukkan ke dalam surga dan dicoret dari daftar calon penghuni neraka.  Apa artinya? Jangan kita sombong dengan kesuksesan dunia dan minder dengan ketidakberdayaan kita. Itu hanyalah semu belaka. 

Jayalah kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun