Bismillah,
Saya baru mengerti istilah bedol desa. Kata ini bermakna pindah semua isi desa melalui program transmigrasi. Itu terjadi di sekitar tahun 1960an, 1970an atau 1980an di mana sejumlah desa di Jawa dipindahkan ke luar pulau jawa karena desa-desa di sana terkena proyek bendungan atau  proyek pembangunan lainnya. Pada waktu itu ada pembangunan waduk Jati luhur. Dikatakan ada 7 kecamatan dipindahkan ke luar pulau Jawa.Â
Dalam kasus keluarga saya, semua saya ajak ke kota. Banyak yang pesimis dengan "program bedol keluarga" yang saya lakukan itu. Menurut mereka keluarga kami bakal makan batu di kota. Mereka tidak salah. Karena saya baru saja menamatkan studi di S1 yang kala itu maaih sebagai  asisten dosen di salah satu fakultas di Universitas Sriwijaya. Saya menghargai kekhawatiran itu. Karena itu logika yang benar.
Desaku jadi tempat wisata
 Terkadang saya merenung membayangkan begitu nekatnya saya membawa satu keluarga ayah saya  ke kota dalam keadaan masih susah. Tapi itu saya yakini sebagai taqdir Allah yang harus dijalani. Setelah berapa dasa warsa Bendungan Lubuk Langkap, yakni di belakang rumah ayahku menjadi objek wisata yang nyaris paling ramai setiap hari. Banyak yang mengklaim saat ini telah mampu menggeser wisata pantai PSB (pantai pasar bawah) Manna.
Saya termasuk orang yang tidak mudah untuk melupakan tempat, orang di mana saya dilahirkan atau pernah bermukim. Saya lahir di desa Lubuk Langkap yang kini sudah maju. Pada saat saya masih tinggal di desa itu kondisinya  sepi. Bendungan lubuk langkap belum ada. Waktu tahun 1970an dan 1980an masih sepi. Tidak banyak orang luar ke kampung saya karena desa kami terpencil, tidak ada kendaraan umum san jalan belum di aspal alias jalan tanah. Jadi hari hari kami berjalan kaki atau paling hebat bawa sepeda. Sedikit yang bawa gerobak sapi.
Karena itu ketika sudah dibangun oleh pemerintah sejumlah fasilitas seperti bendungan, jembatan penyeberangan dan fasilitas lain maka desa itu menjadi ramai dengan pengunjung. Di internet banyak yang posting. Ada yang diposting di blog pribadi, ada yang posting di vlog, ada juga yang poting di youtube.Â
Suatu hari pada tahun 2015 saya bertemu teman satu angkatan sewaktu di SMA tahun 1970an di rumahnya di Simpang Rukis Manna Bengkulu Selatan. Ahmad Saputro namanya. Saya dengan istri datang ke rumahnya. Pak Ahmad Saputra yang kami panggil Lo itu menikah dengan buk Yen, juga teman kami satu kelas di SMA kala itu.Â
Berempat kami pergi ke Lubuk Langkap, desaku. Saya senang tetapi juga terharu karena dibawa ke desa saya yang dulu nyaris ditinggalkan oleh penduduknya. Pertama karena kami sekolah di kota, kedua karena kebanyakan mencari pekerjaan di kota.Â
Di perjalanan kami diajak makan gulai pelus di pinggir Air Ndelengo, tepatnya sebelum desa Muara Pulutan kecamatan Seginim. Tempat itu memang sudah lama ada di situ. Kami makan dengan lahapnya. Selain karena lapar juga karena itu makanan kesukaan saya sejak kecil.
Silaturrahim dengan sesama warga desa
Atas inisiatif perantau asal desa Lubuk Langkap dibentuklah  grup WA sebagai ajang silaturrahim. Ada yang bernukim di pulau Jawa, ada yang di pulau Sumatera. Ada pula yang masih tinggal di desa Lubuk Langkap.  Di pulau Jawa ada yang tinggal di Malang, Bogor, Bandung dan Serang. Yang lain ada yang tinggal di Lahat, Bengkulu dan Palembang. Ada juga yang bekerja di kuar negeri seperti di Malaysia.
Silaturrahim ini memang menurut nabi Muhammad saw memang menambah berkah rezeki dan berkah umur. Rezeki dan umur ini ada kalanya berbentuk pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta komitmen kita. Suatu hal melalui silaturrahim dengan warga desa Libuk Langkap kami bersepakat agar menyebut nama itu bukan naib tetapi dianjurkan.Â
Sebagai contoh, selama ini menyebut paman, ayah itu diiringi dengan anak tertua bukannama ybs. Ayahnda Rahim, bukan Ayahnda saja. Terutama waktu berkirim surat anak zaman dulu menulis ayahnda saja pada sampul surat. Sejarang bergeser kepada ayahnda Rahim. Demikian juga pamanda pak Dian bergeser keoada pamanda Abdul Jalil.Â
Dwmikian tulisan kali ini tentang indahnya silaturrahim dengan sesama perantau dan bukan perantau dari desa Lubuk Langkap Air Nipis Bengkulu Selatan.
Palembang, 8.5.2020
Alfakir,
Supli Effendi Rahim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H