Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... profesional -

Sejak 2007 terus menerus mengembangkan sistem pendidikan dan pengajaran menggunakan ICT terpadu (weblog), rumah panen hujan serta model pengelolaan limbah domestik dengan teknologi rawa buatan. Saat ini anggota partai mengajak ke syurganya Allah, pensyarah dan peneliti; Ketua Lembaga Penelitian Universitas Palembang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kisah Nabi Musa dan Khidir a.s.

25 September 2010   01:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 2341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bismillah,

Allah Swt. tidak menurunkan al-Quran kecuali agar ia menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa serta obat penyakit hati mereka. Dalam upaya mencapai petunjuk tersebut, ada beberapa cara yang ditempuh oleh al-Quran. Ada kalanya melalui hukum, melalui akhlak, melalui keajaiban dan bahkan ada kalanya melalui cerita.

Harus kita yakini bersama, bahwa kisah yang dituangkan dalam al-Quran bukanlah kisah biasa. Ia adalah kisah terbaik yang di dalamnya mengandung pelajaran, bagi orang-orang yang berfikir dan mempergunakan hatinya untuk mencapai hidayah Allah. Salah satu kisah yang terdapat dalam al-Quran adalah kisah pertemuan antara nabi Musa As dengan Nabi Khidir As.

Kisah ini berawal ketika Nabi Musa As. mengajarkan berbagai ilmu kepada Bani Israil dimana mereka sangat kagum dengan keluasan ilmunya. Saat itu ada yang bertanya kepadanya: “Wahai Nabi Allah, adakah di dunia ini seseorang yang lebih berilmu daripada engkau?” Nabi Musa menjawab: “Tidak.”

Sebenarnya jawaban ini tidak salah, karena ia didasari pengetahuan yang ada pada beliau, sekaligus sebagai dorongan agar mereka semakin senang menimba ilmu darinya. Akan tetapi Allah segera menegur beliau dan mengabarkannya bahwa masih ada seorang hamba-Nya yang ilmunya lebih banyak dari nabi Musa As. Ia tinggal di daerah pertemuan dua laut.

Mari kita simak cerita tersebut secara rinci sebagaimana dituturkan oleh al-Quran surat Al-Kahfi ayat: 60-82.

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada (muridnya): "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

Muridnya menjawab: "Tahukah anda tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."

Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu."

Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu."

Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."

Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang besar.”

Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku."

Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar."

Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku."

Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku."

Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."

Khidhir berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”

Adapun bahtera itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

Dan adapun anak itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anak itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).”

Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. al-Kahfi: 60-82).

Pelajaran Yang Dapat Diambil

Dari kisah iniminimal ada tiga pelajaran:

Pertama, makna kesabaran, kedua, etika/adab mencari ilmu dan ketiga, pasrah akan perintah Allah.

Mari kita simak satu persatu:

1. Kata-kata nabi Musa As: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” Memiliki pelajaran: Keteguhan Nabi Musa untuk menambah ilmu demi keselamatan dunia akhirat. Oleh karena itu, beliau mencari orang yang dapat mengobati kehausannya akan ilmu. Hal ini mengajarkan kepada kita, bahwa orang yang ingfin mendapatkan ilmu haruslah keluar dari tempatnya dan mencari dimana sang guru berada dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu, Nabi Musa rela melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk menuntut ilmu dan merasakan keletihan. Beliau lebih suka meninggalkan Bani Israil agar nantinya dapat mengajar dan membimbing mereka, dan memilih berangkat mencari tambahan ilmu.

2. Firman Allah yang bebrunyi: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami,” menjelaskan bahwa ilmu yang diajarkan kepada para hamba-Nya ada dua jenis:

Pertama, ilmu yang diperoleh dengan usaha insani (kasbi) secara bersungguh-sungguh. Kedua, ilmu yang dihasilkan secara langsung oleh Allah tanpa proses insani terlalu panjang. Ia disebut dengan ilham/laduni atau wahyu. Ia dianugerahkan Allah hanya kepada orang-orang saleh yangdikehendaki-Nya.

3. Ayat yang berbunyi: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” menunjukkan cara mempunyai adab sopan santun dan bersikap lemah lembut terhadap guru atau pendidik, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa dimana beliau menggunakan tutur kata yang sangat santun dan seakan-akan sedang meminta pendapat.

Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang dapat membawa pemiliknya kepada kebaikan. Sedangkan ilmu yang tidak seperti itu, boleh jadi hanya akan menimbulkan madharat atau tidak membawa kebaikan. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat tadi: “Supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.”

4. Ayat: “Dan bagaimana kamu dapat bersabar terhadap sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu.” Mengajarkan kepada kita, bahwa seseorang yang tidak sanggup bersabar dalam menyertai guru atau pendidiknya, atau tidak memiliki kekuatan untuk tetap teguh dalam menempuh jalan mencari ilmu, maka dia bukanlah termasuk orang yang dikatakan pantas untuk menerima ilmu.

5. Ayat yang bebunyi: “Insya Allah engkau akan dapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusanpun.” Mengajarkan kepada kita agar selalu berhati-hati dan teliti serta tidak terburu-buru menghukumi suatu permasalahan sampai yang diinginkan atau yang dimaksud benar-benar jelas. Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa jika seorang pendidik melihat adanya kebaikan dengan menerangkan kepada muridnya agar tidak bertanya tentang suatu permasalahan hingga dia (pendidik itu) sendiri yang menerangkan masalah itu kepadanya (maka hendaknya dia lakukan). Dan sesungguhnya kemaslahatan itu senantiasa mengikuti. Sebagaimana halnya bila seorang murid mempunyai pemahaman kurang sempurna, hendaknya guru melarang muridnya memberatkan diri untuk meneliti suatu permasalahan sedemikian rupa dan bertanya tentang persoalan yang tidak ada kaitannya dengan topik yang diajarkan.

6. Penegakkan hukum berlaku secara lahiriah. Hal ini terlihat dalam tindakan nabi Musa As. yang memprotes Nabi Khidir, karena dalam pandnagan Nabi Musa, bahwa yang dilakukannya adalah kesalahan.

Demikianlah salah satu pelajaran dari kisah yang Allah tuturkan dalam al-Quran, semoga kita semua dapat mendapatkan petunjuk Allah. Mari kita jawab pertanyaan2: apakah kita semua saat ini dapat memaknai pentingnya sabar dalam kehidupan yang menipu ini? Apakah kita ada etika atau adab yang mencukupi dalam berkomunikasi, berbuat dan dalam banyak hal? dan, apakah sudah cukup pasrah dalam menjalani dan melaksanakan perintah Allah?

Wallahu ‘Alam bishawab.

sumber: www.mtmcairo.multiply.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun