Bismillah,
Penulis akan menulis artikel ini dengan gaya aku. Aku teringat dengan sejarah kehidupan keluarga ayah yang menurutku unik. Kenapa? Karena ayah dan ibuku hanyalah orang desa terpencil, sebuah keluarga yang ingin maju, walau penuh kekurangan.Â
Waktu makan pagi, makan malam, atau makan siang kami selalu diajak berfikir tentang masa depan. Ayahku memotivasi anak-anaknya yang masih kecil untuk belajar supaya jadi orang hebat.Â
Sekolah dan sekolah
Tidak ada cara untuk maju anak-anakku unrtk maju dan menjadi orang hebat kecuali kalian belajar yang rajin. Karena hanya dengan sekolah nasib keluarga kita akan jauh lebih baik. Dia mencontohkan pemimpin negara kala itu presiden Soeharto sangat menekankan pentingnya pendidikan kepada anak bangsa agar dapat menjadi maju, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia.
Ketika keluarga ayah, kuajak ke kota besar tempat aku kuliah ayah dan ibu hanya ikut saja dengan ideku yang "gambling" itu. Banyak dari tetangga yang protes dan menasehati  agar tindakan nekad kala itu jangan dilakukan. Tetapi kakek, ayah, ibu dan adik-adik sudah satu tekad untuk pindah ke kota apapun yang akan terjadi.
Lebih-lebih kakekku Merinsan kala itu tak mau ketinggalan. Dia bertekad ingin mati di kota. Waktu itu kepindahan kami sekeluarga besar terjadi pada tahun 1984 dengan hanya modal nekad. Kenapa nekad? Ada sejumlah alasan. Pertama, penulis baru saja menyelesaikan studi di bangku kuliah dan sudah mulai bekerja sebagai asisten dosen alias dosen muda di tempat yang sama dengan tempat kuliah semula.
Kedua, aku punya keyakinan bahwa kakek, ayah, ibu dan adik-adik semua punya rezeki melalui aku atau tanpa melalui aku. Atas dasar itu maka aku berani mengajak mereka pindah ke kota.
Alhamdulillah keyakinan dan tekad keluarga kami mulai terbukti. Walau sederhana kami sudah punya rumah sendiri yang dibangun ayah sewaktu baru saja tamat kuliah. Tanah dan rumah itu pada masanya aku hibahkan untuk ayah dan ibu. Dari rumah itu ayah dan ibu bisa membeli rumah di kota lain di provinsi kelahiranku.
Ketiga, berkah dari memindahkan kakek, Yah, ibu dan adik-adik banyak sekali bukan saha untuk mereka tetapi juga untuk keluargaku. Keluarga ayah yakni adik-adik sudah mapan semua. Ada yang kerja jadi guru, jadi istri PNS dan istri polri. Demikian juga anak-anak mereka kini sudah berserakan dan jadi orang semua.
Keluargaku bisa keluar negeri untuk studi dan demikian juga anak-anakku. Mereka ada yang bekerja dan menikah di luar negeri.
Kecerdasan itu tak sama
Sebagai pengamat humaniora dan edukasi, aku mengamati bahwa semua anggota keluarga ayahku dan anak-anakku mempunyai kecerdasan yang tidak sama. Hampir semua mereka cerdas secara akademik tetapi semua beda dalam kemampuan non akademik yang terkadang diperlukan di dalam masyarakat.Â
Ada yang jadi guru tapi mempunyai kemampuan untuk memimpin. Jadilah dia sebagai kepala sekolah. Ada yang jadi tenaga kesehatan berupa dokter, perawat, bidan dll. Ada yang punya klinik sendiri, ada yang jadi direktur RS, ada yang jadi dosen, ada yang jadi pengusaha dll.
Mari saling menghargai
Sesama manusia, sebagai orang yang ada iman maka kita mesti saling hargai. Jangan hanya menghargai capaian akademik saja tetapi mesti kita menghargai orang lain karena dia adalah ciptaan tuhan, dia juga cerdas karena dia diciptakan oleh Yang Maha Cerdas.
Berhentilah untuk meremehkan orang lain karena hartanya, karena pangkatnya, karena kecantikan atau kegantengannya. Yang penting adalah kita harga orang lain karena dia anak manusia, ciptaan tuhan plus dia saudara kita sebangsa, swbtanah air, sesama manusia dan kesamaan lainnya. Elakkan perbedaan dalam melihat orang lain.
Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H