Mohon tunggu...
Supli rahim
Supli rahim Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan dosen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang biasa yang ingin mengajak masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Jasa "Pejadi" dan Upaya Membalasnya

15 Juni 2022   04:03 Diperbarui: 15 Juni 2022   04:07 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ibu penulis, dokpri

Bismillah,

Semua kita, penulis dan pembaca punya orangtua -ayah ibu. Dalam bahasa Serawai, Bengkulu Selatan disebut "pejadi". Siapapun kita mesti dibayangi oleh ingatan masa lalu bersama ayah ibu yang rela menderita untuk kita. Tak pantas jika lupa membalas jasa mereka. Salah satunya denhan beramal soleh yang diniatkan untuk pejadi dan selalu mendoakan mereka setiap waktu.

Teringat Perjuangan "Pejadi"

Hari ini penulis menangis sewaktu mendengar lagu minang tentang kesusahan hidup di kampung. Penulis teringat penderitaan "pejadi".  Pejadi dalam bahasa kampung Lubuk Langkap Air Nipis Bengkulu Selatan adalah ayah dan ibu.

Pejadi hanyalah petani

Orangtua penulis meski hanya petani tetapi dia ingin sekali anaknya sekolah. Kakek penulis sangat ingin agar cucu-cucu beliau "mikultas naik tinggi" dan selolah di Inggeris. Untuk itu kakek rela menjadi penunggu kebun kopi yang jauh dari kampung tetapi puluhan kilometer sebelah utara Lubuk Langkap tepat lnya di Dataran Kepahyang.

Teringat penderitaan pejadi

Pejadi penulis masih ada ibu, sedangkan ayah sudah 12 tahun meninggal dunia. Walau ada sempat sedikit  mengabdi kepada mereka tetapi jasa mereka tak pernah terbalas. Ayah penulis pergi pagi pulang sore, bahkan terkadang malam hari.

Ayah penulis menyiapkan pertanaman padi ketika musim hujan datang. Pada setiap sabtu pergi ke kebun memgangkut kopi yang sudah siap ditumbuk di mesin tumbuk kopi. Di sana namanya Berik. Minggu pagi dibawa ke kalangan juga berjalan kaki. Jika banyak kopi yang akan dijual, ayah mengupah orang membawa pakai tenaga manusia.

Pernah ayah menjual kopi untuk membeli sepeda buatan Inggeris sebanyak puluhan ton. Itu terjadi pada tahun 1970an. Waktu itu harga kopi hanya sekitar Rp 100 per kilogram. Sedangkan harga seperti Raleigh pada waktu itu adalah Rp 22 ribu.

Ayah sakit keras, kaki ibu kena bambu

Pejadi penulis menderita dari waktu ke waktu.  Sering terjadi di depan mata. Waktu penulis kecil kami nermalam di sawah. Sawah kami melewati sungai air nipis. Perlu 3 kali penyebrangan untuk mencapai sawah dari rumah kami di kampung Lubuk Langkap.

Suatu saat ayah sakit keras di sawah. Kami panik karena beliau sakit susah bernapas. Entah bagaimana pengobatannya ayah siuman. Untung ibu tidak panik. Dia dengan telaten membantu ayah agar seera siuman. Akhirmya ayah sembuh.

Pada kali lain ibu kena tombak bambu kakinya yang dia tebang sendiri. Kakinya cacat sampai saat ini. Alhamulillah ibu panjang umur. Sampai saat ini ibu sehat sehat.

Menangis jika ingat ayah

Penulis bukan siapa-siapa jika ingat pengorbanan mereka untuk penulis sebagai anak tertua. Mereka benar benar kerja keras, kerja ikhlas dan kerja cerdas.   Mereka ingin sekali anaknya sekolah. Yang menarik adalah bahwa mereka tidak pamrih. Tidak pernah meminta uang. Tidak pernah meminta agar adik-adik disekolahkan oleh penulis. Alhamdulillah walau tak sebanding dengan perjuangan pejadi, penulis telah berbuat untuk ayah dan ibu. Semoga mereka ridho pada penulis dan Allah ridho juga pada pembaca semua.

Jayalah kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun