Bismillah,
Semua kita, penulis dan pembaca punya orangtua -ayah ibu. Dalam bahasa Serawai, Bengkulu Selatan disebut "pejadi". Siapapun kita mesti dibayangi oleh ingatan masa lalu bersama ayah ibu yang rela menderita untuk kita. Tak pantas jika lupa membalas jasa mereka. Salah satunya denhan beramal soleh yang diniatkan untuk pejadi dan selalu mendoakan mereka setiap waktu.
Teringat Perjuangan "Pejadi"
Hari ini penulis menangis sewaktu mendengar lagu minang tentang kesusahan hidup di kampung. Penulis teringat penderitaan "pejadi". Â Pejadi dalam bahasa kampung Lubuk Langkap Air Nipis Bengkulu Selatan adalah ayah dan ibu.
Pejadi hanyalah petani
Orangtua penulis meski hanya petani tetapi dia ingin sekali anaknya sekolah. Kakek penulis sangat ingin agar cucu-cucu beliau "mikultas naik tinggi" dan selolah di Inggeris. Untuk itu kakek rela menjadi penunggu kebun kopi yang jauh dari kampung tetapi puluhan kilometer sebelah utara Lubuk Langkap tepat lnya di Dataran Kepahyang.
Teringat penderitaan pejadi
Pejadi penulis masih ada ibu, sedangkan ayah sudah 12 tahun meninggal dunia. Walau ada sempat sedikit  mengabdi kepada mereka tetapi jasa mereka tak pernah terbalas. Ayah penulis pergi pagi pulang sore, bahkan terkadang malam hari.
Ayah penulis menyiapkan pertanaman padi ketika musim hujan datang. Pada setiap sabtu pergi ke kebun memgangkut kopi yang sudah siap ditumbuk di mesin tumbuk kopi. Di sana namanya Berik. Minggu pagi dibawa ke kalangan juga berjalan kaki. Jika banyak kopi yang akan dijual, ayah mengupah orang membawa pakai tenaga manusia.
Pernah ayah menjual kopi untuk membeli sepeda buatan Inggeris sebanyak puluhan ton. Itu terjadi pada tahun 1970an. Waktu itu harga kopi hanya sekitar Rp 100 per kilogram. Sedangkan harga seperti Raleigh pada waktu itu adalah Rp 22 ribu.
Ayah sakit keras, kaki ibu kena bambu
Pejadi penulis menderita dari waktu ke waktu. Â Sering terjadi di depan mata. Waktu penulis kecil kami nermalam di sawah. Sawah kami melewati sungai air nipis. Perlu 3 kali penyebrangan untuk mencapai sawah dari rumah kami di kampung Lubuk Langkap.
Suatu saat ayah sakit keras di sawah. Kami panik karena beliau sakit susah bernapas. Entah bagaimana pengobatannya ayah siuman. Untung ibu tidak panik. Dia dengan telaten membantu ayah agar seera siuman. Akhirmya ayah sembuh.
Pada kali lain ibu kena tombak bambu kakinya yang dia tebang sendiri. Kakinya cacat sampai saat ini. Alhamulillah ibu panjang umur. Sampai saat ini ibu sehat sehat.
Menangis jika ingat ayah
Penulis bukan siapa-siapa jika ingat pengorbanan mereka untuk penulis sebagai anak tertua. Mereka benar benar kerja keras, kerja ikhlas dan kerja cerdas. Â Mereka ingin sekali anaknya sekolah. Yang menarik adalah bahwa mereka tidak pamrih. Tidak pernah meminta uang. Tidak pernah meminta agar adik-adik disekolahkan oleh penulis. Alhamdulillah walau tak sebanding dengan perjuangan pejadi, penulis telah berbuat untuk ayah dan ibu. Semoga mereka ridho pada penulis dan Allah ridho juga pada pembaca semua.
Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H