Mohon tunggu...
Supiyandi
Supiyandi Mohon Tunggu... Freelancer - IG: @supiyandi771

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemasaran Karet Alam dan Permasalahannya di Sumatera Selatan

16 Juli 2019   06:29 Diperbarui: 16 Juli 2019   06:38 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karet alam adalah salah satu komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Karet alam Indoensia pada 2018 mampu mencatat nilai ekspor sebesar USD 5,13 miliar dollar dengan jumlah produksi sebanyak 3,7 juta ton. Indonesia menduduki peringkat 2 setelah Thailand yang memproduksi 4,2 juta ton pertahun di 2018 dalam hal produksi karet. 

Kemudian disusul oleh Malaysia dan Vietnam yang mampu memproduksi 1,2juta ton per tahun. Wilayah yang menjadi basis produksi karet di Indonesia adalah di provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. 

Wilayah denganp roduktivitas karet alam terbesar di Indoensia adalah provinsi Sumatera Selatan dengan dominasi ekspor 54,06 % dari total ekspor karet Indonesia. 

Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Sumatera Selatan. Dari dominasi ekspor karet tersebut, terjadi  banyak keluhan petani karet alam saat ini terutama masalah rendahnya harga karet di tingkatan petani. Hal ini dikarenakan beberapa penyebab diantaranya adalah kualitas karet alam yang dihasilkan oleh petani yang masih rendah.

Kualitas Karet Alam Yang Dihasilkan Petani

Sebagian besar petani menghasilkan bokar (bahan olahan karet rakyat) atau karet alam dalam bentuk slab lump (99%). Dari keterangan para konsumen (toke) sebanyak 60% petani telah menghasilkan slab bersih dan sisanya sebanyak 40% petani masih menghasilkan slab yang dicampur dengan tatal (kulit kayu sadapan). 

Rata-rata ketebalan slab yang dihasilkan petani lebih dari 10 cm dengan berat slab berkisar 28 -- 80 kg per keping. Para petani lebih menyukai slab tebal karena alasa nmenghindari pencurian slab, sedangkan bagi pedagang/tengkulak, dengan membeli slab tebal risiko penyusutan kadar air lebih besar, sehingga pedagang cenderung menekan harga karet alam karena alasan tingginya kadar air.

Rendahnya kualitas karet alam yang dihasilkan petani bukan tidak disadari oleh petani produsen. Satuhal yang menarik untuk dicermati adalah alas an petani untuk memasukkan benda asing ke dalam larutan getah selama penangganan panen oleh petani. 

Sejumlah petani yang menggunakan tatal secara berlebihan mengaku bahwa tujuan utama untuk memasukkan tatal dan benda asing lainnya ke dalam bongkahan karet alam adalah sebagai upaya untuk meningkatkan berat karet alam yang dihasilkan.

Dilihat dari cara pengolahan kare talam, sebagian besar petani banyak menggunakan bahan pembeku yang tidak direkomendasikan yaitu asam sulfat (66%) yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan cuka para. 

Cukapara merupakan bahan pembeku yang paling mudah didapat di pasaran. Penggunaan bahan pembeku tawas dan pupuk TSP juga masih banyak dilakukan oleh petani. Sebagian besar petani di wilayah Kabupaten PALI menggunakan pembeku cuka para yang dicampur dengan tawas. 

Selain itu terdapat juga bahan pembeku lain yang juga tidak direkomendasikan antara lain, gadung, dan air cucian tempe. Penggunaan bahan pembeku yang tidak direkomendasikan seperti tawas, pupuk TSP, dan gadung pada karet alam, dapat menyebabkan mutukaret menjadi rendah dikarenakan nilai plastisitas karet, baik plastisitas awal (Po) maupun plastisitas retensi indeks (PRI) akan turun di bawah standar SIR 20 (Purbaya, et al., 2011).

Sebaliknya, bahan pembeku yang direkomendasikan seperti asam semut (formic acid) dan Deorub masih jarang digunakan petani. Petani hanya menggunakan Deorub atau asam semut apabila mendapat bantuan pembeku dari pemerintah daerah setempat. Hal ini dikarenakan bahan pembeku Deorub dan asam semut sulit diperoleh petani di pasaran.

Harga Karet Alam di Tingkat Petani Produsen

Sesuai dengan mutu karet alam yang dihasilkan oleh petani produsen, harga beli yang diberikan oleh pedagang perantara atas karet yang dihasilkan petani secara rill adalah rendah. 

Hasil analisa data dari Gapkindo menunjukkan harga karet murni di Crumb Rubber per September 2018 adalah Rp17.000,- per kilogram. Namun disampaikan rata-rata harga ditingkatan petani harga karet alam adalah Rp6.500,-sampai Rp7.500,- per kilogram.

Harga yang rendah ini memotivasi petani untuk menggunkan cara yang tidak baik untuk menambhkan berat karet yang dihasilkan demi meningkatkan pendapatan mereka. Akhirnya petani terjebak dalam pola yang tidak baik ini yang berimplikasi pada harga yang rendah karena kualitas karet yang dihasilkan rendah.

Rata-rata penerimaan petani karet di Provinsi Sumatera Selatan berkisar  Rp7.020.00,-/ha/tahun sampai Rp7.560.00,-/ha/tahun. Data ini berdasarkan pada kemampuan produksi rata-rata karet alam di Indonesia sebesar 1.080 Kg /ha/tahun.

 Sama seperti keterkaitan antara mutu dengan harga, mutu karet yang dihasilkan petani juga berhubungan sangat nyata dengan penerimaan petani. Hal ini berarti perubahan mutu akan diikuti oleh perubahan penerimaan petani dari hasil penjualan karet alam yang dihasilkan.

Tataniaga Karet Alam

Keberhasilan lembaga pemasaran pertanian dalam mendistribusikan komoditas dari petani produsen ke konsumen akhir salah satunya dapat ditunjukkan oleh marjin pemasaran yang serendah-rendahnya. 

Tataniaga karet alam dari petani saat ini hanya dibatasi sampai pabrik karet remah (Crumb Rubber) di Provinsi Sumatera Selatan. Pabrik crumb rubber dengan demikian dianggap sebagai konsumen terakhir dalam analisis tataniaga karet alam di Sumatera Selatan.

Saat ini terdapat banyak lembaga pemasaran dan agen komisi berdasarkan tingkat atau lokasi asal pedagang yang berperan menyalurkan karet alam yang dihasilkan petani hingga ke pabrik crumb rubber. 

Kombinasi sejumlah lembaga pemasaran tersebut membentuk saluran pemasaran yang terdiri atas satuhingga empat lembaga pemasaran seperti pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten, dan pedagang besarserta pemilik gudang di kota. Panjangnya alur tataniaga adalah salah satu penyebab rendahnya harga karet alam di tingkatan petani.

Hasil survey lapangan yang diperoleh menunjukkan bahwa rasio bagian harga yang diterima petani yang terbesar diperoleh dengan memasarkan karet yang dihasilkan melalui saluran pemasaran langsung ke Crumb Rubber. 

Rasio bagian harga yang diterima petani tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pemasaran karet alam melalui saluran langsung atau melalui rantai distribusi pemasaran yang pendek mampu memberikan bagian harga yang relative wajar. 

Dengan asumsi peran produktif yang dilakukan oleh petani sebagai produsen dan pedagang adalah seimbang maka saluran pemasaran tersebut dianggap cukup efisien.

Sebaliknya, rasio bagian harga yang diterima petani melalui saluran distribusi pemasaran yang panjang adalah yang terendah. Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah lembaga yang menyusun suatu saluran pemasaran karet di Sumatera Selatan, maka semakin rendah rasio bagian harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada petani produsen.

Kemampuan kelompok saluran pemasaran tertentu dalam memberikan imbalan yang memadai kepada petani menjadi berbeda karena pada umumnya pedagang desa acap sekali berperan sebagai toke (land lord) kepada petani yang setiap saat bersedia memenuhi kebutuhan petani tetapi dengan imbalan kesetiaan petani untuk memasarkan karet hanya melalui mereka. 

Kesempatan tersebut tidak dimiliki oleh pedagang yang dating dari kota Palembang misalnya sehingga perilaku penentuan harga ditingkat petani menjadi berbeda.

Dalam mengatasi permasalahan tataniaga ini, harus ada peran pemerintah yang signifikan agar bias memberikan solusi. Salah satu peran pemerintah yang dapat dilakukan missalnya membentuk koperasi tataniaga karet alam. 

Pembentukan koperasi ini untuk memotong rantai tataniaga yang terlalu panjang sehingga hasil karet petani hanya melalui dua tahap penjualanya itu dari petani ke koperasi dan dari koperasi langsung ke Crumb Rubber. 

Manfaat signifikannya adalah pada pengendalian harga yang kompetitif dan informasi pasar yang sempurna sehingga petani dan pedagang karet sama-sama memiliki keuntungan. 

Selain itu desa juga bias mendapatkan pemasukan dari selisih harga karet yang dibeli dari petani dengan yang dijual ke Crumb Rubber sehingga dapat meningkatkan pemasukan desa. Koperasi ini juga untuk mewujudkan kemandirian ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Artikel ditulis oleh Supiyandi Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Sriwijaya

Baca Juga: Baik dan Buruknya Proyek OBOR Bagi Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun