Mohon tunggu...
Zulidyana D Rusnalasari
Zulidyana D Rusnalasari Mohon Tunggu... Ilmuwan - a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/ UNESA 2016

a learner that is still learning about everything... Cultural Studies freak, literature, and philosophy learner... /ILUNI 2012/ IKA Unair 2009/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaum Marginal Ini Bernama "Supermom"

29 Mei 2020   08:20 Diperbarui: 27 Juni 2020   07:00 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara historis, kultural maupun religiusitas, Ibu diagungkan posisinya sebagai manusia yang tinggi derajatnya. Surga ada di telapak kaki, posisi yang memberi kesan “kuasa” dalam kehidupan. Bayangkan, surga yang menjadi tujuan akhir hidup orang beragama ada di bawah telapak kaki para ibu.

Seiring bergeraknya waktu dan perekonomian, tuntutan akan kualitas Pendidikan dan kehidupan, mewajarkan para ibu berkiprah di luar rumah. Kesetaraan gender menyuburkan dukungan atas akses Pendidikan dan pekerjaan bagi para ibu. Disinilah kemudian para ibu menemukan banyak sekali percabangan pilihan dalam kehidupannya. Bekerja di luar atau di rumah. (saya tidak akan membandingkan antara kedua pilihan, keduanya adalah hak para ibu untuk memutuskan).

Di satu sisi, ada banyak norma yang percaya bahwa “Ibu adalah madrasah utama dan pertama, para anak nya” dan di sisi lain ada banyak pro kontra mengenai ibu sebaiknya dimana? Di rumah? Tetep kerja? Tetep berkiprah?

Tapi jarang yang bertanya, ibu mau nya apa? Mau bekerja di perusahaan, jadi manager, jadi direktur, jadi wartawan, jadi guru, jadi dosen? Atau ibu mau nya di rumah, menjadi Ratu rumah tangga yang menjamin keberlangsungan generasi?

Alih-alih saling menguatkan, banyak organisasi perempuan yang justru melanggengkan opini mengenai “Supermom” ini. Tuntutan untuk selalu sigap di berbagai, rapi di rumah, prestasi gemilang di kantor. Melupakan kodrat bahwa ibu adalah manusia bukan superhero.

Bebannya semakin bertambah saat sang Ibu yang bekerja menjadi public figure, segala rupa tindakan akan membebani mental sang ibu. Parahnya, masyarakat yang hobinya lebih pada konsumsi visual (nonton/liat foto) ini lebih mudah menjustifikasi, “bagaimana seharusnya menjadi seorang ibu”, daripada mencoba menggali lebih dalam, “apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang ibu?”.

Sebagaimana para ayah dan lelaki, para ibu yang biasanya perempuan adalah mahluk sosial yang membutuhkan dukungan, bukan hanya pertanyaan, apalagi pertanyaan yang mengarah pada target tertentu (yang kebanyakan targetnya justru bukan tentang si ibu): “udah punya anak?”, “anaknya sudah bisa apa?”, “suami gimana di kantor? Lancar bisnisnya?”, “jadi perempuan harus bisa nabung, udah punya dana darurat khan?”, “suamimu jarang pulang? Kamu sih dasteran aja, coba me time rawat diri”, (silahkan membayangkan aneka pertanyaan yang lain).

Ruang untuk relaksasi semakin sempit, apalagi jika para supermom ini berada di lingkungan toxic, contohnya saja, di lingkungan homogen kumpulan para istri pegawai x, atau para istri apalah – apalah, yang mayoritas dibentuk pada jaman Orde Baru, untuk mengendalikan pegawainya (para suami).

Tidak semuanya, tapi sebagian besar dari mereka peduli untuk bertanya karena terdorong hasrat untuk  membandingkan kenyamanan kehidupan masing-masing. Bertanya karena kepo, bagaimana menjalani kehidupan nya masing-masing. Ini tidak sepenuhnya salah, Ketika mereka mendapati bahwa kehidupan mereka lebih baik, mereka bersyukur, dan tentu saja terhibur (sama kayak saat anda menonton sinetron azab, anda meringis sambil bersyukur, itu bukan kehidupan milik anda).

Tapi jika mereka mendapati kehidupan mereka tidak lebih baik, aroma kompetisi akan semakin terasa, entah apapun bentuk persaingannya. Bisa persaingan dalam bentuk bingkai foto keluarga bahagia di sosmed, sampai dengan bingkai foto masakan di dapur, atau prestasi anggota keluarga. 

Ini juga tidak sepenuhnya salah, karena, banyak juga yang justru mendapatkan apresiasi dengan share hal-hal positif semacam ini, saling menguatkan, saling like dan komentar. Tapi hal ini juga membawa sisi yang lain, ada saja jiwa-jiwa incomplete dan insecure yang merasa bahwa mereka harus lebih baik dari update an teman-teman nya (misalnya).

Disinilah masalah supermom ini timbul. Dengan motivasi menjadi supermom, para ibu mengorbankan sedikit kebahagiannya dan kejujurannya. Waktu yang mereka miliki untuk sekedar selonjoran kaki terbatas. Apalagi nonton drama favorit. Kadang juggling antara waktu istirahat dan waktu hiburan.

Dan bisa dibayangkan, bagaimana dengan para ibu bekerja? Waktu untuk sekedar merefleksi “apa yang mereka inginkan” lebih sedikit lagi. Untuk bisa menjalani hari dengan Bahagia saja butuh effort luarbiasa. Semakin tinggi jabatan dan karir, semakin tinggi effort yang harus dikeluarkan.

Hasilnya, beraneka ragam, marginalisasi terhadap para supermom ini menjadi seperti silent killer of happiness. Kebahagiaan para ibu inilah yang tergerus, jiwa nya yang lembut kadang mengeras. Mulutnya yang katanya punya 3 kali lipat perbendaharaan kata jadi sasaran label, “cerewet”, “banyak omong”, dan sebagainya. Padahal mungkin itu justru karena mereka berusaha sempurna, menjadi SUPERMOM.

Pekerjaan kelar, rumah bersih, anak terawat, tapi wajah cemberut karena capek, hati masygul karena dendam, tak jarang juga saya menemukan banyak para “supermom wannabe” yang menjadi “toxic” bagi keluarga sendiri. Tuntutannya pada dirinya sendiri sangat high expectation, begitu pula kepada orang lain di sekitarnya.

Makanya jangan heran kalau para ibu punya insting detektif atau mengingat kesalahan yang telah lalu dengan sangat detail, (you are dealing with a superhero, haha). Lantas dikeluarkan dengan rentetan kalimat yang membuat suasana sangat tidak nyaman. Si ibu cerewet salah? Iya, tapi yang lebih salah adalah yang punya kuasa lebih besar dari sang ibu. Entah itu suami, atasan sang ibu, atau lingkungan sekitar sang ibu (baik nyata maupun virtual), yang telah menjejali dengan segala tuntutan dan standar yang overwhelming.

Bahkan rekan saya pernah meneliti bagaimana para “ibu yang punya kuasa” ini lebih merepresi sesamanya (kaum ibu yang menjadi pegawainya) untuk mendukung identitas nya sebagai supermom. Akhirnya represi bertumpuk, dan saling menuntut. Dan di saat yang sama, para komunitas ibu mulai membicarakan “value”, “morality”, “dreams” yang ujung-ujungnya memberikan standard tertentu pada kaum ibu yang lain. 

Eksklusifitas ini menjamur, berdiaspora dan menjangkiti banyak ibu. Sering juga saya temukan para ibu yang sudah berjuang dengan segala daya dan upaya, namun minim apresiasi, hanya karena tingkat pendidikan, atau posisi nya sebagai single parent, bahkan sekedar “tidak bisa update informasi” saja menjadikan ibu- ibu ini merasa menjadi marginal. Dan masalah akan semakin parah, karena saya jarang bis amenemukan perempuan berlabelibu yang punya sifat dasar “cuek”, naluri sih… (sigh)

Miris, posisi Supermom dan Supermom wannabe ini semakin terpojok, tanpa bantuan dan dukunngan nyata dan real. Sekedar telinga untuk mendengarkan ocehan saja harus hati-hati, karena rahasia tidak bisa diumbar di sosmed, malah dibully netizen.

Dalam masyarakat yang sedang mengagungkan Pendidikan, ada kalanya kita mem-pause diri kita sendiri, saling support atas segala kekurangan, embrace the problems. Belajar untuk menjadi pendengar, sambil cuek dan tahan diri untuk tidak kepo urusan orang lain. Saling mengedukasi dengan cara yang baik, dan tidak menyakiti dengan segala fasilitas yang anda punya untuk dipamerkan pada ibu yang lain, PLEASE be considerate...

Silahkan saja, anda berkoar-koar melanggengkan values yang anda percaya untuk menjadi “supermom” versi anda, boleh juga anda lanjutkan membuat komunitas ibu yang ini dan itu, yang apalah-apalah, walaupun toh ujungnya anda cuman pengen narsis, hahaha. Di saat anda ingin narsis itulah,  tolong hindarilah keinginan “memaksa diri” apalagi “memaksa orang lain” untuk menjadi seperti anda.  Ketika supermom menjadi toxic dan menyakiti dirinya sendiri, para penjaga moral dan values (seperti anda) ini sebaiknya ada di garda depan, untuk “open consulting”, bukan hanya menyelenggarakan workshop atau webinar yang ternyata isinya 60% narasi tentang kesuksesan dan kebahagiaan anda pribadi. B A S I.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun