Secara historis, kultural maupun religiusitas, Ibu diagungkan posisinya sebagai manusia yang tinggi derajatnya. Surga ada di telapak kaki, posisi yang memberi kesan “kuasa” dalam kehidupan. Bayangkan, surga yang menjadi tujuan akhir hidup orang beragama ada di bawah telapak kaki para ibu.
Seiring bergeraknya waktu dan perekonomian, tuntutan akan kualitas Pendidikan dan kehidupan, mewajarkan para ibu berkiprah di luar rumah. Kesetaraan gender menyuburkan dukungan atas akses Pendidikan dan pekerjaan bagi para ibu. Disinilah kemudian para ibu menemukan banyak sekali percabangan pilihan dalam kehidupannya. Bekerja di luar atau di rumah. (saya tidak akan membandingkan antara kedua pilihan, keduanya adalah hak para ibu untuk memutuskan).
Di satu sisi, ada banyak norma yang percaya bahwa “Ibu adalah madrasah utama dan pertama, para anak nya” dan di sisi lain ada banyak pro kontra mengenai ibu sebaiknya dimana? Di rumah? Tetep kerja? Tetep berkiprah?
Tapi jarang yang bertanya, ibu mau nya apa? Mau bekerja di perusahaan, jadi manager, jadi direktur, jadi wartawan, jadi guru, jadi dosen? Atau ibu mau nya di rumah, menjadi Ratu rumah tangga yang menjamin keberlangsungan generasi?
Alih-alih saling menguatkan, banyak organisasi perempuan yang justru melanggengkan opini mengenai “Supermom” ini. Tuntutan untuk selalu sigap di berbagai, rapi di rumah, prestasi gemilang di kantor. Melupakan kodrat bahwa ibu adalah manusia bukan superhero.
Bebannya semakin bertambah saat sang Ibu yang bekerja menjadi public figure, segala rupa tindakan akan membebani mental sang ibu. Parahnya, masyarakat yang hobinya lebih pada konsumsi visual (nonton/liat foto) ini lebih mudah menjustifikasi, “bagaimana seharusnya menjadi seorang ibu”, daripada mencoba menggali lebih dalam, “apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang ibu?”.
Sebagaimana para ayah dan lelaki, para ibu yang biasanya perempuan adalah mahluk sosial yang membutuhkan dukungan, bukan hanya pertanyaan, apalagi pertanyaan yang mengarah pada target tertentu (yang kebanyakan targetnya justru bukan tentang si ibu): “udah punya anak?”, “anaknya sudah bisa apa?”, “suami gimana di kantor? Lancar bisnisnya?”, “jadi perempuan harus bisa nabung, udah punya dana darurat khan?”, “suamimu jarang pulang? Kamu sih dasteran aja, coba me time rawat diri”, (silahkan membayangkan aneka pertanyaan yang lain).
Ruang untuk relaksasi semakin sempit, apalagi jika para supermom ini berada di lingkungan toxic, contohnya saja, di lingkungan homogen kumpulan para istri pegawai x, atau para istri apalah – apalah, yang mayoritas dibentuk pada jaman Orde Baru, untuk mengendalikan pegawainya (para suami).
Tidak semuanya, tapi sebagian besar dari mereka peduli untuk bertanya karena terdorong hasrat untuk membandingkan kenyamanan kehidupan masing-masing. Bertanya karena kepo, bagaimana menjalani kehidupan nya masing-masing. Ini tidak sepenuhnya salah, Ketika mereka mendapati bahwa kehidupan mereka lebih baik, mereka bersyukur, dan tentu saja terhibur (sama kayak saat anda menonton sinetron azab, anda meringis sambil bersyukur, itu bukan kehidupan milik anda).
Tapi jika mereka mendapati kehidupan mereka tidak lebih baik, aroma kompetisi akan semakin terasa, entah apapun bentuk persaingannya. Bisa persaingan dalam bentuk bingkai foto keluarga bahagia di sosmed, sampai dengan bingkai foto masakan di dapur, atau prestasi anggota keluarga.
Ini juga tidak sepenuhnya salah, karena, banyak juga yang justru mendapatkan apresiasi dengan share hal-hal positif semacam ini, saling menguatkan, saling like dan komentar. Tapi hal ini juga membawa sisi yang lain, ada saja jiwa-jiwa incomplete dan insecure yang merasa bahwa mereka harus lebih baik dari update an teman-teman nya (misalnya).