“…serius sekali “, gumam sang murid mengarah kepada teman satunya, “ kita tadi ‘kan cuma mau rasan-rasan, Ya ? “. Murid yang satu cuma tersenyum. Agak gemas dengan celetukan enggan temannya. Perlahan Sang Ustadz meneruskan ucapannya :
“ Sejarah bergulir. Firman demi firman, ayat demi ayat menjawab semua Hidup. Kebaikan satu per satu dibangun dengan kerangka Kepastian Kebenaran Ilahi. Jiwa-jiwa yang tak cedera berpendar-pendar dalam cahayaNya. Rasa diri menemukan muara aktualitasnya dengan wajar namun tak mengurangi kemuliaannya dalam kesederhanaan hidup. Kemenangan – kemenangan menjelma sebagai kebesaran penaklukan diri sendiri dalam semangat kemurahan hati, kasih sayang dan perlindungan sebagai sebagian bayaran yang dijanjikanNya bagi siapa pun yang memelihara diri dan senantiasa bertakwa, taat atas suara diri yang terbatin, ranah diri yang tak cedera. Sungguh kegembiraan hidup yang ada. Menunggu sepenuh harap atas semua petunjukNya hingga akhirnya, saat kesempurnaan petunjuk itu tiba, saat syari’at Islam yang hendak diperjuangkan lagi itu muncul sebagai ketuntasan, justru saat itu lah awal dimulainya duka kemanusiaan. Dan inilah yang aku katakan sebagai kemalangan tadi…”
Sang Murid terkejut atas ucapan Ustadz yang terakhir.
“ Mengapa demikian, ustadz ?” sela sang murid,”..bukankah kesempurnaan itu akhirnya juga tidak cedera sebagaimana awalnya ? bukankah umat Islam harus bahagia dengan keberuntungan penyempurnaanNya ?” berondong santri tak habis pikir.
“ Telah Kusempurnakan untuk kamu agamaKu , mengisyaratkan perjuangan mensintesakan kutub-kutub, polaritas, keberanekaan bahkan kerewelan yang tidak pernah selesai. Sempurna berasal dari perjuangan membongkar semua alasan kehadiran realitas beserta anggapan-anggapan ilahiahnya yang belum tentu dirimu sendiri, kelompokmu, atau islammu yang terbenar. Perjuangan itu harus dilandasi semangat berajar yang hanya liang lahat dan kiamat tanda berakhirnya. Dan sejarah kesempurnaan hukum syari’at Islam yang sempurna itu selain hanya sebentar, kurang dari setahun, berbayang duka atas perpisahan yang tak terbayangkan dahsyatnya. Perpisahan dengan kemuliaan Sang Penyantun, dengan kemuliaan Sang Penuntun Sejati, Rasululullah SAW. Dan itulah kenyataan dari dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu. Ni’mat kebersamaan dalam tuntunan Rasulullah itulah yang pertama disempurnakan. Dan itu kehilangan adanya. Dan Duka itu lah yang telah mengisyarat, membayangi kesempurnaan ni’mat. Dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu, mengharuskan diri sahabat ketika itu untuk sejak awal rela kehilangan atas Hayat Sang Rasulullah SAW bersama mereka, ditinggalkan di dunia fana tanpa Realitas Sang Penyempurna. Namun kesedihan itu jika dipikirkan akan memunculkan marah, jika dijalani akan memunculkan lemah, jika dibiarkan dan tidak dipedulikan akan memunculkan serakah dan tamak batasan diri. Jadi, ukurlah dukamu terlebih dahulu, muridku, ukurlah dukamu atas kehilangan Rasulullah SAW sebelum engkau menimbang lebih lanjut semangatmu memperjuangkan hukum syari’at Islam, berlandaskan Alqur’an yang Rasulullah SAW sendiri maujudnya, personifikasinya. Dengan demikian engkau tidak kehilangan Ruh Ummi, Al-Fatikhahmu yang Kecerdasan Sejati Adanya, yang memastikan keharusan diri untuk senantiasa memohon makna Kebenaran Mutlak ayat pertama setelahnya, Alif Lam Miim. Alif Lam Miim-mu mengharuskanmu untuk tidak boleh tidak diam dalam kebaikan yang utama. Diam karena tak tahu, dan sebaiknya tidak mengajari siapa pun tanpa Penerjemah Sejati Sang Rasulullah SAW dan para pewarisnya. Alif Lam Miim-mu, bakal menuntun jiwamu yang terliputi kebenaranNya. Bukan di kemakmuran hidup di dunia, bukan di kebanggaan berlapangan kerja dunia, bukan di kemarahanmu atau pun ketaksetujuanmu atas apa yang kalian anggap bukan hukum syari’at Islam. Kita tidak boleh menyatakan diri sebagai yang terbenar pemahaman Al Kitabnya karena Alif Lam Miim membuktikan kebodohan kita. Berendah dirilah anakku, atas semua yang engkau sangka layak engkau perjuangkan dan engkau banggakan, jika ternyata adalah duka adanya. Merindulah sepenuh santunmu, agar engkau tak cedera dan mencederai siapa pun dalam kesempurnaan syari’atmu yang dukalah sarana terdekat. untuk sampainya.”. . .
Demikian Sang ustadz mengakhiri rasan-rasan Hukum Islam dengan tutur kata yang lembut pada dua muridnya, anak-anak didiknya. Sore maram, Senja rawan. Suara Adzan
Maghrib menghentikan pertemuan sore itu.
Jatiwaringin, 01 September 2003
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H