Mohon tunggu...
Supatmono Sumarwoto
Supatmono Sumarwoto Mohon Tunggu... -

Lahir di Kabupaten Magelang. SD dan SMP di Granag, Magelang. SMA di Yk. Bekerja di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukum Islam

21 Juli 2013   00:35 Diperbarui: 4 Januari 2016   07:50 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

September 7, 2012 at 3:59pm

Oleh : Supatmono

“ Akhir-akhir ini banyak orang Islam menyeminarkan perlunya penerapan  syari’at Islam dalam paket urgensi penegakan Negara Islam. Apakah sebenarnya hal itu memang urgen bagi negeri kita ?”, tanya seorang murid kepada gurunya, ustadz sebuah pondok pesantren. “ Bukan berarti saya alergi nasionalis-demokrat, lho, Ustadz. Saya hanya sekedar ingin merasakan bersama kerinduan para pejuang hukum syari’at Islam itu. Mereka sepertinya belum menemukan titik terang ke arah tujuan pendirian Negara Islam yang mereka tuju”.

“ Ya, ustadz. Kasihan sekali mereka itu. Hadangan bagi mereka seolah-olah sekuat tembok baja di negeri ini, berwujud rasa cukup, rasa puas orang Islam sendiri atas yang telah ada. Orang Islam di negeri kita ini seolah-olah lupa akan suri tauladan Nabi besar Rasulullah  SAW dan para sahabat dalam menjalankan pemerintahan Islam. Alangkah nikmatnya kita, jika negeri kita menerapkan hukum Islam seperti negeri jiran, misalnya. Mereka sukses besar mengangkat kemakmuran negeri. Keberkahan melimpah ruah. Lapangan kerja banyak. Kemajuan ilmu pengetahuan, budaya dan teknologi juga mengagumkan” kata santri yang lain, “ Apakah dengan adanya contoh senyata itu di jaman modern ini, kita masih harus menunda lagi ?”.

“ Persoalan penerapan syari’at Islam itu persoalan yang tidak pendek seperti yang kalian bayangkan.  Terlebih dahulu harus kita samakan persepsi kita tentang syari’at Islam, Karena sesungguhnya persoalan yang menjadi latar belakang maupun latar depannya sungguh kompleks. Marilah kita luangkan waktu sejenak mempersepsikan apa yang selama ini kita yakini sebagai yang harus dijalankan, diajarkan sebagai yang harus diteladankan dan sebagainya…….” Sang ustadz menghentikan wejangannnya sejenak. Santri-santrinya menunggu dengan tenang dan penuh rasa ingin tahu

“ Syari’at adalah watak seperangkat aturan pemuat spirit atau semangat  keyakinan esensial atas semua wujud kehadiran. Mengapa watak ? Karena di dalamnya termuat misi, sesuatu yang berbatas keterlindungan dan perlindungan sebagai sebab kehadirannya. Adanya adalah melindungi diri. Dan karenanya mesti terkemas sebagai pokok-pokok perlindungan yang mesti dikenali semua peruntukan, yaitu diri. Perihal mengapa kehadirannya harus juga terlindungi, mengisyaratkan kesantunan yang tak pernah boleh dicederai bahkan oleh bentuk-bentuk, wujud-wujud keterlindungannya sendiri. Rapuh bila tersentuh, namun bukan kekuatan bila dibiarkan. Dan itulah, kesantunan, pokok pertama dari syari’at. Tiada kesantunan tanpa syari’at dan tiada syari’at tanpa kesantunan”. Sang ustadz mengangkat wajahnya, sejenak memandang jejalan

“ Pokok-pokok berikutnya paling tidak mesti dilandasi empat hal peruntukan diri : syarat struktural, unitas makna,  pemahaman esensial, dan kecakapan pengambilan keputusan dari semua persoalan yang harus diputuskan dengannya. Syarat strukturalnya adalah prinsip-prinsip nalar yang terbangun atas anasir Hidup, Kebaikan dan Kepastian dalam kebolehan maujudnya. Unitas makna merupakan pemahaman atas kepastian batas-batas urusan jiwa yang mampu menangkap getaran sebab-sebab asasi dari kebenaran kalimah dalam kesempurnaan kesaksian diri. Pemahaman esensi adalah kecerdasan diri menyingkap seluruh kasyaf eksistensi yang maujud. Muara dari ketiga landasan tersebut adalah daya diri dalam menentukan dan menerjemahkan setiap keputusan praktis dengan mensintesakan tiga pokok pikiran tersebut” , Ustadz menghela nafasnya perlahan, seolah terbebas dari semua urusan pelik

“ Kata Islam sendiri menawarkan lebih dari satu bentuk pemahaman. Islam yang menyejarah bersama urutan turunnya firman, atau Islam yang memfenomena bersama kehidupan sahabat Nabi, atau Islam yang dianggap sempurna sebagai agama paling benar dasar ilmunya atau masih banyak lagi yang tidak dapat saya ungkapkan”.

Sang ustadz sejenak menghentikan bicaranya. Wajahnya semakin serius, Sejurus kemudian mengalun suara lebih lembut dan santun. Seakan-akan hendak mengungkapkan betapa rendahnya kehinaan diri atas semua santunan Kalam.

“ Saya hanya akan membahas yang pertama. Jika syari’at islam yang dipilih adalah syari’at islam yang menyejarah bersama urutan turunnya firman, maka sungguh malang sekali orang-orang Islam itu jadinya. Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW oleh Malaikat Jibril, dikisahi dengan pelukan malaikat Jibril sebanyak tiga kali sebelum Rasulullah memahami Kehendak AgungNya. Apa rahasia tiga kali pelukan Malaikat Jibril ketika itu ? Pada pelukan pertama, Rasulullah SAW menjawab perintah :”Bacalah !” dengan ungkapan : “Aku tidak tahu”. Aku tidak tahu  mengisyaratkan begitu banyak yang telah akan dipikirkan dan ditafakurkan, namun belum diketahui. Pada pelukan kedua terjadi hal yang sama. “Aku tidak tahu” yang kedua mengisyaratkan begitu banyak yang telah akan dijalani, namun belum terlampaui. Pada pelukan ke tiga tersentuhlah Hasrat Kasih Agung dalam Kesantunan yang tersambut oleh getaran Jiwa & Qalbu Rasulullah SAW. Dan nyatalah Cermin Cahaya Kebenaran yang memang satu-satunya Sumber Cahaya Kebenaran itu sendiri. Dengan Kebanggaan Agung Rabb, Rasulullah SAW menyibakkan sendiri rahasia batas ketafakurannya yang panjang di gua Hira’. Dengan Cahaya Kebenaran Suci Sang Pencipta Rasulullah SAW menemukan kesejatian maujudNya. Namun itu pun belum cukup tersebutkan sebagai keluhuran kemanusiaan. Rasulullah mesti memperoleh peneguhan dari Sang Pendamping, al-Umm Siti Khadijah r.a, hingga keutuhan keyakinan diri lah jelma keberadaannya. Demikianlah, awal Syari’at Islam adalah kerja Ilahiah, anak-anakku. Bukan kekerasan apalagi paksaan. Namun murni kelembutan hati yang memahami kepastian diri, kepasrahan diri dan kesetiaan diri yang tulus. Awal Syari’at Islam adalah keharusan bercahayanya watak diri yang indah oleh Kehendak Yang Maha Indah, dan semua yang menerimanya dengan terbuka sebagai keindahan mesti bersyaratkan rela. Awal kerja Syari’at Islam adalah ditunjukkannya kerendahan diri dengan cara yang lebih rendah lagi, dengan tujuan agar tidak mencederai Qalbu Rasulullah SAW, namun benar-benar meneranginya dengan Cahaya Kebenaran yang membuka rahasia Qalbu, memelihara dan menyelamatkan semesta ciptaan Sang Khalik sepanjang jaman”.

Murid –murid terperangah. Sang ustadz matanya berkaca-kaca. Menerawang jauh ke luar beranda.

“…serius sekali “, gumam sang murid  mengarah kepada teman satunya, “ kita tadi ‘kan cuma mau rasan-rasan, Ya ? “. Murid yang satu cuma tersenyum. Agak gemas dengan celetukan enggan temannya. Perlahan Sang Ustadz meneruskan ucapannya :

“ Sejarah bergulir. Firman demi firman, ayat demi ayat menjawab semua Hidup. Kebaikan satu per satu dibangun dengan kerangka Kepastian Kebenaran Ilahi. Jiwa-jiwa yang tak cedera berpendar-pendar dalam cahayaNya. Rasa diri menemukan muara aktualitasnya dengan wajar namun tak mengurangi kemuliaannya dalam kesederhanaan hidup. Kemenangan – kemenangan menjelma sebagai kebesaran penaklukan diri sendiri dalam semangat kemurahan hati, kasih sayang dan perlindungan sebagai sebagian bayaran yang dijanjikanNya bagi siapa pun yang memelihara diri dan senantiasa bertakwa, taat atas suara diri yang terbatin, ranah diri yang tak cedera. Sungguh kegembiraan hidup yang ada. Menunggu sepenuh harap atas semua petunjukNya hingga akhirnya, saat kesempurnaan petunjuk itu tiba, saat syari’at Islam yang hendak diperjuangkan lagi itu muncul sebagai ketuntasan, justru saat itu lah awal dimulainya duka kemanusiaan. Dan inilah yang aku katakan sebagai kemalangan tadi…”

Sang Murid terkejut atas ucapan Ustadz yang terakhir.

“ Mengapa demikian, ustadz ?” sela sang murid,”..bukankah kesempurnaan itu akhirnya juga tidak cedera sebagaimana awalnya ? bukankah umat Islam harus bahagia dengan keberuntungan penyempurnaanNya ?” berondong santri tak habis pikir.

Telah Kusempurnakan untuk kamu agamaKu , mengisyaratkan perjuangan mensintesakan kutub-kutub, polaritas, keberanekaan bahkan kerewelan yang tidak pernah selesai. Sempurna berasal dari perjuangan membongkar semua alasan kehadiran realitas beserta anggapan-anggapan ilahiahnya yang belum tentu dirimu sendiri, kelompokmu, atau islammu yang terbenar. Perjuangan itu harus dilandasi semangat berajar yang hanya liang lahat dan kiamat tanda berakhirnya. Dan sejarah kesempurnaan hukum syari’at Islam yang sempurna itu selain hanya sebentar, kurang dari setahun, berbayang duka atas perpisahan yang tak terbayangkan dahsyatnya. Perpisahan dengan kemuliaan Sang Penyantun, dengan kemuliaan Sang Penuntun Sejati, Rasululullah SAW. Dan itulah kenyataan dari dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu. Ni’mat kebersamaan dalam tuntunan Rasulullah itulah yang pertama disempurnakan. Dan itu kehilangan adanya. Dan Duka itu lah yang telah mengisyarat, membayangi kesempurnaan ni’mat. Dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu, mengharuskan diri sahabat ketika itu untuk sejak awal rela kehilangan atas Hayat Sang Rasulullah SAW bersama mereka, ditinggalkan di dunia fana tanpa Realitas Sang Penyempurna. Namun kesedihan itu jika dipikirkan akan memunculkan marah, jika dijalani akan memunculkan lemah, jika dibiarkan dan tidak dipedulikan akan memunculkan serakah dan tamak batasan diri. Jadi, ukurlah dukamu terlebih dahulu, muridku, ukurlah dukamu atas kehilangan Rasulullah SAW sebelum engkau menimbang lebih lanjut semangatmu memperjuangkan hukum syari’at Islam, berlandaskan Alqur’an yang Rasulullah SAW sendiri maujudnya, personifikasinya. Dengan demikian  engkau tidak kehilangan Ruh Ummi, Al-Fatikhahmu yang Kecerdasan Sejati Adanya, yang memastikan keharusan diri untuk senantiasa memohon makna Kebenaran Mutlak ayat pertama setelahnya, Alif Lam Miim. Alif Lam Miim-mu mengharuskanmu untuk tidak boleh tidak diam dalam kebaikan yang utama. Diam karena tak tahu, dan sebaiknya tidak mengajari siapa pun tanpa Penerjemah Sejati Sang Rasulullah SAW dan para pewarisnya. Alif Lam Miim-mu, bakal menuntun jiwamu yang terliputi kebenaranNya. Bukan di kemakmuran hidup di dunia, bukan di kebanggaan berlapangan kerja dunia, bukan di kemarahanmu atau pun ketaksetujuanmu atas apa yang kalian anggap bukan hukum syari’at Islam. Kita tidak boleh menyatakan diri sebagai yang terbenar pemahaman Al Kitabnya karena Alif Lam Miim membuktikan kebodohan kita. Berendah dirilah anakku, atas semua yang engkau sangka layak engkau perjuangkan dan engkau banggakan, jika ternyata adalah duka adanya. Merindulah sepenuh santunmu, agar engkau tak cedera dan mencederai siapa pun dalam kesempurnaan syari’atmu yang dukalah sarana terdekat. untuk sampainya.”. . .

Demikian Sang ustadz mengakhiri rasan-rasan Hukum Islam dengan tutur kata yang lembut pada dua muridnya, anak-anak didiknya. Sore maram, Senja rawan. Suara Adzan

Maghrib menghentikan pertemuan sore itu.

Jatiwaringin, 01 September 2003

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun