Keberanian dan kepercayaan diri Presiden Joko Widodo, mengumumkan ibu kota Republik Indonesia pindah ke Kalimantan, tanpa sebelumnya ada legalitas dari DPR, Â masih menjadi pertanyaan rakyat Indonesia, karena keluar dari tata cara ke tata negaraan.Â
Pertanyaan lainnya, anggaran yang sangat besar, sekitar Rp466 triliun untuk membiayai pindah ibu kota, digaransi oleh Presiden akan ada dari anggaran lain, sementara dari APBN hanya sebagian kecil.
Selain itu, rakyat juga banyak yang berpendapat, bila ada anggaran sebesar itu, untuk membiayai pindah ibu kota, mengapa dana sebesar itu tidak digunakan saja untuk membayar utang negara?
Di kutip daru CNN Indonesia (27/8/2019), Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah mencapai Rp4.603,62 triliun pada 31 Juli 2019. Utang tersebut meningkat Rp33,45 triliun dibanding Juni 2019 yang baru Rp4.570,17 triliun pada Juni 2018.
Pertanyaan kritis yang lebih menggelitik adalah, bila anggaran pindah ibu kota sebagian besarnya bukan dari APBN, kira-kira ibu kota baru Indonesia nantinya jadi milik siapa?
Atau pertanyaan lainnya, kira-kira pihak yang turut membiayai anggaran pindah negara, ada kepentingan apa di baliknya?
Memang, kendati Presiden secara sepihak telah mengumumkan ibu kota akan pindah, masih mungkin rancana pindah ibu kota akan batal, bila nantinya DPR tidak menyetujui.
Jauh sebelum pengumuman pindah ibu kota pun, rencana pemindahan Ibukota ke Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai sarat kepentingan politik, sebab diputuskan Presiden Jokowi usai dinyatakan menang Pilpres periode 2019-2024.
"Pemindahan Ibukota itu kental nilai politik dan bisnis. Bisa saja ada deal politik sebelum Pilpres 2019. Dan itu hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu," tutur pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin, Rabu (28/8/2019), kepada awak media.
Menurut Ujang, pemindahan Ibukota tidak memiliki urgensi apapun selain berorientasi bisnis. Sebab, masih banyak pembangunan di DKI Jakarta yang belum diselesaikan pemerintah.
Lebih mencengangkan, biaya yang harua digelontorkan pemerintah bukan biaya yang sedikit, yakni mencapai Rp 466 triliun.
"MRT, LRT, belum tuntas. Itu kan negara termasuk BUMN (yang membiayai). Makanya tak terlalu urgen pemindahan Ibukota tersebut. Itu bukan kepentingan rakyat, tapi hanya kepentingan elite politik dan para pengusaha," tegasnya.
Selain itu, pemindahan Ibukota yang hanya akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 93 trilun, dan sisanya digarap pengembang atau pihak swasta, maka menjadi pertanyaan besar bagi rakyat.
"Kita dapat bocoran yang akan garap Agung Podomoro Group. Arahnya yang akan garap pengusaha yang dekat dengan pemerintah. Ini yang membuat rakyat curiga," tambah Ujang.
Sementara Wakil Ketua DPR Fadli Zon yakin keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur ada kemungkinan gagal. Alasannya, ia menilai kajian atas keputusan tersebut amatiran.
"Bisa (berubah) dong. Bisa saja tetap di Jakarta kok. Apalagi tiba-tiba nanti tahun depan urusannya udah lain, mati listrik lagi misalnya. Kemudian apa, orang juga lupa ya kan. Nanti lihat saja lah apa yang saya omongin hari ini," kata Fadli, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
"Inilah karena memang dijalankan secara amatiran. Dengar dulu dong pendapat-pendapat masyarakat, para ahli, akademisi, perguruan tinggi. Bukan hanya niat mungkin karena dapat wangsit dari mana gitu," ujarnya.
"Saya kira kita memerlukan sebuah kajian, langkah-langkah di dalam rencana atau wacana pemindahan ibu kota itu. Ini bukanlah sesuatu yang mudah, diperlukan juga saya kira undang-undang tentang pemindahan ibu kota itu, karena ini persoalan yang sangat besar," imbuh Fadli.
Politikus Gerindra itu menganggap Jokowi terlalu tergesa-gesa dalam menetapkan keputusan pemindahan ibu kota. Menurut Fadli, Jokowi terkesan hanya ingin meninggalkan bukti kerja di masa kepemimpinannya.
"Apalagi kelihatan bahwa presiden ini tergesa-gesa. Saya baca statement-nya diharapkan tahun 2023-2024 (selesai). Mungkin berharap ini menjadi legacy di masa pemerintahannya. Jadi ada yang ditinggalkan, ada yang dikenang gitu," tuturnya.
Namun yang pasti, apapun latar belakang Jokowi, dan apapun pro dan kontra yang timbul dari akibat rencana pindah ibu kota, bila pada pada akhirnya DPR tidak menyetujui dan ibu kota tetap pindah, maka ibu kota bisa jadi bukan milik Indonesia, namun menjadi milik konglomerat atau mungkin pihak asing yang turut membiayai.
Bila tidak mau ada masalah di kemudian hari, jalur ketatanegaraan memang harus diluruskan dalam rencana pindah ibu kota ini, dan bila DPR setuju, maka agar ibu kota baru tetap milik Indonesia, maka anggaranya dari APBN, tidak ada yang bermain kepentingan dalam hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H