Siapapun yang berpikir dan bertindak kreatif dan inovatif, rasanya memang harus didukung. Sebab persoalan kreativitas dan inovasi umumnya di Indonesia ini masih dapat dibilang menjadi barang mahal.
Yang murah adalah, banyaknya pihak yang hanya memanfaatkan hasil karya cipta kretif dan inovatif seseorang, lalu menggunakannnya untuk kepentingan pribadi dan golongan, bahkan ada yang mencoba mengaku-ngaku karya kreativitas dan inivatif seseorang sebagai karya mereka, karena karya yang diakuinya belum didaftarkan ke lembaga hak cipta dan akhirnya banyak orang/pihak yang memanfaatkan demi mencari keuntungan.
Jadi, bicara kreativitas dan inovasi, akan terus menjadi barang mahal di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kasus yang sekarang sedang viral di media sosial dan terjadi di Kota Depok Jawa Barat, tentang adanya rencana lagu yang diputar di lampu merah, sebuah tindakan kreatif dan inovatif, atau sekadar inisiatif  dan mencari sensasi?
Atau ada kepentingan lain di balik hal ini, sebab lagu yang diputarpun sampai harus dinyanyikan oleh Wali Kota Depok. Bahkan, dari beberapa komentar warga, meski liriknya memang mengajak masyarakat tertib berlalu lintas, namun aransemen lagunya tergolong zadul (zaman dulu).
Sebab, atas rencana tersebut, beberapa pemerhati dan pengamat justru menyatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan ngawur.
Tengok pendapat pemerhati Kebijakan Kota Depok, Yurgen Alifia Sutarno, kepada awak media (15/7/2019). Â Yurgen mengatakan kebijakan tersebut ngawur. Menurutnya, kebijakan itu adalah bukti Wali Kota Depok kebingungan menghadapi macet akut di wilayah kekuasaannya--juga pada akhir pekan.
"Kalau mengurangi tingkat kejenuhan jalan, jelas enggak mungkin. Apa urusannya lagu dipasang di lampu merah? Enggak ilmiah mereka ini".
Memutar lagu di lampu merah menambah panjang daftar absurditas Pemkot Depok mengatasi masalah lalu lintas. Sebelum ini, mereka telah memasang pemisah antara jalur cepat dan lambat di Margonda Raya. Pemisah jalan ini malah membuat Margonda semakin macet.
"Motor ambil jalur cepat, angkot tak jarang juga masuk jalur cepat. Minim penegakan hukum, yang terpenting macet tidak berkurang," katanya.
Kemudian kebijakan satu arah di jalan Arif Rahman Hakim, jalan Nusantara, dan jalan Dewi Sartika. Memang, kata Yurgen, kemacetan agak berkurang di daerah tersebut. Namun menurutnya itu tak berkelanjutan. Apalagi menurutnya jumlah motor dan mobil di Depok sudah mencapai 1,2 juta unit.
"Dalam beberapa tahun ke depan, pasti macet lagi. Belum lagi protes warga karena omzet dagangan mereka berkurang akibat SSA," terangnya.