Atas keberaniannya, Ki Hadjar akhirnya diasingkan ke Belanda oleh pemerintah kolonial saat itu. Namun, sekembalinya ke Indonesia, Ki Hadjar justru mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Ki Hajarpun diangkat menjadi Menteri Pendidikan.
Pada tanggal 26 April 1959 beliau wafat. Untuk menghormati jasa-jasanya terhadap dunia pendidikan Indonesia, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara yang memperoleh sebutan sebagai bapak pendidikan ini memiliki filosofi, semboyan yang menjadi salah satu kontribusi positif bagi pendidikan di Indonesia. Semboyan tersebut berbunyi "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani".
Maknanya adalah, (1) Ing Ngarso Sung Tulodo dapat diartikan di depan, sung (lngsun) yang artinya saya, dan kata tulodo yang artinya tauladan. Dengan demikian arti dari semboyan Ki Hajar Dewantara yang pertama ini adalah ketika menjadi pemimpin/guru harus dapat memberikan suri tauladan untuk semua orang yang ada disekitarnya.
(2) Ing Madyo Mbangun Karso artinya di tengah-tengah, Mbangun yang memiliki arti membangkitkan dan karso yang memiliki arti bentuk kemauan atau niat.
Dengan demikian makna dari semboyan Ki Hajar Dewantara yang kedua ini adalah seorang pemimpin di tengah-tengah kesibukannya diharapkan dapat membangkitkan semangat terhadap pengikutnya/peserta didiknya.
(3) Tut Wuri Handayani memiliki arti mengikuti dari belakang dan kata handayani yang memilki arti memberikan motivasi atau dorongan semangat. Dengan demikian semboyan Ki Hajar Dewantara yang ketiga ini memiliki makna bahwa seorang pemimpin/guru diharapkan dapat memberikan suatu dorongan moral dan semangat kepada pengikut/peserta didik ketika guru tersebut berada di belakang.
Bila diterjemahkan secara ringkas, filosofi/semboyan Ki Hajar adalah keteladanan, membangun semangat, dan motivasi.
Sayangnya, meski tak lekang oleh waktu, apa yang sudah di ajarkan oleh Ki Hajar ini, bila dikaitkan dengan situasi NKRI saat ini, terlebih terkait Pemilu 2019, nampaknya tidak berlaku.
Para pemimpin dan elite bangsa tidak lagi berpikir tentang keteladan. Namun justru semakin giat membangun semangat dan motivasi dan menggiring rakyat untuk turut mendukung kepentingan pribadi dan golongannya demi suksesnya urusan perut mereka.
Karena itu, saya mencatat tahun 2019 adalah mudahnya pemimpin menjadi teladan "kepentingan". Ini jelas bukan teladan yang diharapkan Ki Hajar bukan?
Â