Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Antara #Kosongkan GBK, Standar Pemain Timnas, dan PSSI

20 November 2018   06:56 Diperbarui: 20 November 2018   09:12 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhelatan piala AFF 2018 yang digadang-gadang dapat menyembuhkan luka publik sepakbola nasional dengan harapan Timnas dapat memberikan trofi untuk kali pertama bagi rakyat pecinta sepakbola nasional, rasanya masih sebatas utopia.

Jangankan berharap trofi, kesempatan lolos dari fase Grup B pun bergantung kepada tim lain. Itupun dengan syarat Timnas menang dengan banyak gol saat menjamu Filipina pada Minggu, 25 November 2018 di SUGBK. Lalu Singapura dan Filipinapun kalah ditangan Thailand. 

Namun, tanpa harus menunggu laga Timnas versus Filipina, bila pada Rabu, 21 November 2018 Filipina berhasil menahan imbang atau bahkan menang melawan Thailand. Bila hasilnya imbang, maka pertandingan terakhir pasukan Bima Sakti takkan berarti apa-apa. 

Namun harapan Indonesia masih tetap ada dengan catatan Filipina dan Singapura kalah  dari Thailand dan Indonesia menang banyak dari Filipina.

#KosongkanGBK

Terlepas dari persoalan kans Timnas lolos atau tidak, masalah buruknya penampilan Timnas di Piala AFF kali ini dengan kalah ditangan Singapura 1-0 memang membuat publik sepakbola nasional bersikap.

Sebelum partai menjamu Timor Leste, muncul ajakan agar suporter Timnas Indonesia tidak hadir menonton di Stadion GBK dengan model ajakan milenial, yaitu #KosongkanGBK.

Mengemukanya #KosngkanGBK di media sosial yang segera mendapat respon kontra dan pro, sejatinya belum dapat dibuktikan bahwa tagar tersebut signifikan berpengaruh kepada publik sepakbola nasional.

Tidak perlu dipersoalan bahwa adanya tagar lalu bicara nasionalis atau tidak. Kemudian di kaitkan dengan latar belakang berdirinya PSSI dan sebagainya.  Yang jelas, ratusan juta  bangsa Indonesia yang sangat mencintai olahraga sepakbola ini tetap menonton Timnas bertanding di layar kaca, meski faktanya penonton yang hadir di GBK memang  sangat sedikit untuk ukuran  Timnas bertanding selama ini, khususnya saat menjamu Timor Leste.

Sejatinya dengan penampilan Timnas yang sangat mengecewakan, tanpa perlu tagar kosongkan GBK pun, penonton juga memang malas menonton laga Timnas karena bikin kesal, kecewa, dan hanya membuat marah melihat aksi pemain Timnas yang bermain tak layak menyandang jersey kebanggaan Indonesia. Jadi sedikitnya penonton yang hadir di GBK bukan karena tagar.

Tengok saat Timnas U-16, U-19, dan Timnas Asean Games, penonton berduyun hadir ke Stadion karena aksi pemain layak sebagai permainan Timnas.

Kelayakan Timnas

Atas apa yang sudah dipertontonkan oleh Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 kali ini, hal yang paling mencolok adalah proses Timnas ini dibentuk. 

Kesalahan terbeaar PSSI pertama adalah saat akhirnya menunjuk Bima sebagia pelatih Timnas. Akibat blunder PSSI yang terus berpolemik menyoal pelatih Luis Milla.

Sementara kontestan negara lain begitu serius menyiapkan tim dengan pelatih kelas dunia, PSSI masih berkutat pada persoalan klasik. Tak cerdas membuat program Timnas hingga akhirnya Timnas yang diharapkan berprestasi, malah menjadi korban kebebalan PSSI.

Bima yang sangat belum layak menjabat sebagai pelatih Timnaspun turut dikorbankan. Alasan bahwa Bima mewarisi teknik pelatihan Milla, seolah dibuat menjadi masuk akal. Padahal memegang Timnas modalnya bukan sekadar belajar menjadi asisten. Namun, harus pernah memiliki pengalaman menjadi pelatih kepala baik di klub main Timnas di level bawah atau senior.

Setali tiga uang, komposisi pemain Timnas yang dipilih Bimapun seolah melengkapi kebebalan PSSI dan sepakbola nasional.

Sementara Timnas negara lain sudah memainkan sepakbola modern dengan mengandalkan kecerdasan dan personaliti.Timnas kita masih bermain bola hanya dengan andalan teknik dan speed.

Begitu banyak, pemain yang kini masuk dalam skuat Bima Sakti yang sebenarnya tidak layak dalam gerbong Timnas. Sementara pemain yang layak masih berkutat membela klub.

Ini semua petaka yang digulirkan PSSI karena bertindak tak cerdas, memilih pelatih juga sama, akibatnya pelatihpun melakukan kesalahan dalam memilih dan memasang pemain.

Laga SD kontra SMA

Sebagai bukti bahwa Timnas kita hingga kini hanya berkutat pada persoalan teknis dan fisik. Tengok bagaimana laga saat kalah 4-2 dari Thailandatau sebelumnya tunduk 0-1 dari Singapura.

Timnas dapat mengimbangi Thailand dari segi teknis dan fisik (speed). Namun, dalam hal intelegensi dan personaliti, perbandingannya sangat jauh. Ibaratnya, laga sepakbola antar SMA. Secara fisik sama, namun pola pikir pemain TImnas masih seperti pola berpikir anak SD. 

Inilah benang kusut Timnas selama ini. Hanya mengambil pemain dari kompetisi yang secara kasat mata, pemain bermain bagus secara teknik dan speed (pemain berbakat) namun melupakan sisi intelektual dan personaliti pemain.

Bila dianalogikan, pemain Timnas Thailand barangkali secara akademis sudah mengantongi ijazah SMA/S1/S2, namun pemain kita sudah mengantongi ijazah apa? 

Sepakbola modern bukan lagi bicara bakat, teknik, dan fisik. Namun, pemain yang masuk Timnaspun harus cerdas akademis. 

Sayangnya, siapa yang merancang produk Timnas, sangat kuat dilindungi oleh kata-kata statuta. Seberapapun keras teriak dan protes rakyat oecinta sepakola Indonesia meminta pengurus PSSI lengser, teriakan kerasnya tak berguna. Hanya masuk telinga kanan langsung menerabas keluar telinga kiri.

Ketua PSSI dipilih oleh voters. Sementara para voters juga siapa. Lalu di dalamnya juga penuh intrik dan politik. Inilah dilema sepakbola nasional. 

Selama lingkarannya masih begini, maka prestasi sepakbola nasional hanya mimpi. Sulit publik sepakbola nasional menyaksikan Timnas yang bermain dengan pola pikir dewasa. Sementara semua pemain Timnas negara lain terpilih karena kedewasaannya. Dewasa artinya, cerdas otak, sikap, pola pikir dan lainnya.

Ironisnya lagi, di level bawah, pembinaan sepakbola usia dini dan muda, para pemain harapan bangsa juga terbudaya dicekoki oleh sepakbola yang hanya berkutat pada pelatihan fisik dan speed, jauh dari pelatihan akademis yang membentuk pemain berpikir cerdas dan memiliki personaliti mumpuni.

Harusnya Kemenpora dan Kemendiknas adalah mitra sejati PSSI dalam melahirkan pemain Timnas yang berstandar tinggi. 

Kapan pemain Timnas lolos menjadi pemain Timnas karena lulus ujian psikotes seperti layaknya calon siswa/mahasiswa/ karyawan yang melamar sekolah/kuliah/pekerjaan? 

Sudah tidak zaman. Memanggil pemain masuk Timnas hanya dilihat dari bakat, teknik, dan speed.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun