Euforia sepak bola nasional kini sedang tertuju pada sepak terjang timnas, terutama U-23 yang baru saja dipecundangi Thailand. Namun, tim besutan Milla masih dapat unjuk gigi pada perhelatan laga uji coba kedua melawan tim yang sama pada Minggu, 3 Juni 2018 di Stadion Pakansari Bogor.Â
Semoga hadirnya Beto dan Rico dapat memenuhi ekspetasi publik yang haus kemenangan timnas yang digadang-gadang berprestasi di Asian Games.
Di luar persoalan timnas, sayang juga bila saya tidak membuat catatan sejarah kerja sama PSSI dengan DFB.
Rasanya baru kemarin saya menulis artikel "Meneladani Jerman dan Menunggu Prestasi dari Tiga Generasi" di sebuah Harian Olahraga terkemuka. Memang bila dihitung belum sampai setahun, namun pergerakan PSSI ternyata butuh waktu sekitar sepuluh bulan, hingga akhirnya PSSI benar-benar merealisasikan kerja sama dengan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB-Deutscher Fussball Bund) dan Federasi Sepak Bola Australia ( FFA-Australia-Football Federation Australia).
Kerja sama yang juga melibatkan GIZ (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit) yang merupakan perusahaan internasional milik pemerintah federal Jerman yang beroperasi di berbagai bidang di lebih dari 130 negara dengan AFC dan FIFA adalah lanjutan dari pertemuan PSSI dengan DFB akhir Maret 2018. Tujuannya untuk memajukan sepak bola di tanah air yang bertajuk Sport for Development.
Akar diabaikan
Dari berbagai program kerja sama yang diawali dengan seminar, misi utamanya adalah pengembangan yang ditujukan untuk instruktur dan pelatih yang dasarnya adalah pembangunan karakter dan kepribadian diri, terutama di kursus pelatih lisensi D.Â
Kemudian akan direalisasikan pilot project di Maluku dan Jawa Timur sebagai proyek percontohan yang diharapkan dapat menyempurnakan program PSSI, yaitu Filosofi Sepak Bola Indonesia (Filanesia). Sementara, implementasinya dengan menghadirkan kurikulum baru kursus pelatih lisensi D dengan mencetak pelatih yang berkualitas untuk sepak bola Indonesia.
Program inti untuk pembangunan karakter dan kepribadian diri di dalamnya memuat nilai-nilai sportivitas, solidaritas, sosial, dan budaya lalu ditanamkan kepada pelatih dan juga instruktur dengan program lisensi D Plus, lalu beberapa pelatih senior akan menjadi ujung tombak penyebaran kurikulum baru ini. Sungguh program kerja sama jitu. Sepak bola Indonesia sangat tepat bila harus meneladani sepak bola Jerman.
Namun, sangat disayangkan, saat kerjasama sudah mulai digulirkan, PSSI ternyata belum membenahi kondisi pembinaan sepak bola akar rumput (usia dini dan muda) yang tetap carut marut, mulai dari registrasi/afiliasi SSB di seluruh Askot/Askab/Asprov se-Indonesia hingga persoalan kompetisinya yang justru masih dominan dikelola pihak swasta. Bahkan terbukti, justru kompetisi dari pihak swastalah yang banyak menyumbang pemain untuk timnas.
Menjamurnya Sekolah Sepak Bola (SSB) yang tidak terkendali dan tak terafiliasi, mudahnya menjadi pelatih SSB, kompetisi SSB yang carut-marut, orangtua siswa yang lebih pintar dari pelatih, mandulnya Askot, Askab, dan Asprov dari gempita pembinaan usia akar rumput, harusnya di tata dulu.
Bahkan dalam program kerja sama yang sangat baik ini, publik sepak bola nasional, khususnya para pembina sepak bola usia akar rumput harus terkaget karena tiba-tiba PSSI punya program pilot project dengan memilih dua daerah di Indonesia sebagai calon pabrik pesepak bola nasional. Apa latar belakangnya? Seluruh provinsi di Indonesia kini menjamur SSB. SSB di semua provinsi bila ditata dan dikelola dengan benar akan menjadi pabrik pemain timnas handal. Bisa dijadikan pilot project semua!
Program mencetak instruktur dan pelatih berlisensi D Plus pun tentunya akan menjadi program instan. Berapa lama para calon instruktur dan pelatih akan dibina?Â
Lalu, ujung tombak penyebaran kurikulum baru, apakah benar-benar sumber daya yang memiliki kapabilitas?Â
Pelatih berlisensi D Plus yang diharapkan harus dapat mendidik siswa/pemain menjadi berkarakter dan berkepribadian baik dengan memiliki jiwa sportivitas, solidaritas, sosial, dan budaya. Dari segi pelatih atau instruktur adalah guru! Menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sekolah formal saja wajib berijazah S1 dengan menempu pendidikan selama empat tahun, delapan semester.
Libatkan Diknas dan Universitas
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam artikel berjudul "Antara Pelatih, Kompetensi, dan Kurikulum" di Harian Olahraga terkemuka Indonesia tanggal 9 Maret 2017, nampaknya PSSI terkesan tidak belajar dari benang kusut dan fakta yang ada menyoal pembinaan akar rumput yang menjadi pondasi timnas handal.Â
Masih sangat banyak para pelatih SSB yang berlisensi D hingga di level atas, membina dan melatih siswa SSB dengan cara seperti melatih pemain dewasa. Mencekoki pemain hanya dalam bidang teknik dan speed. Hasilnya, lihat pemain timnas kita, masih banyak yang miskin intelejensi dan personaliti alias tidak berkarakter dan berkepribadian buruk.
Pelatih juga ada yang bergaya seperti pelatih sepak bola Eropa/Amerika, namun tidak dapat menyentuh siswa dalam kompetensi intelejensi dan personaliti yang akan berujung menjadikan pemain berkarakter, berkepribadian baik dan berbudi pekerti. Tidak memiliki ilmu sebagai guru yang paham pedagogik (kognitif, afektif, psikomotor).
Calon pelatih pesepak bola akar rumput harus memiliki berbagai kompetensi yang mempelajarinya tidak mungkin hanya tuntas dalam tempo seminggu dan lulus mendapat sertifikat D Plus. Terlebih, bagaimana menjalankan kurikulum di lapangan, juga butuh profesionalisme cara mengajar/melatih dengan membuat rancangan program melatih hingga mendidik siswa/pemain menjadi berkarakter dan berkepribadian baik.
Saya sangat paham dan yakin, bahwa para penggawa di PSSI itu cerdas! Tapi mengapa program kerja sama yang sangat baik ini harus potong kompas dan random. Bila demikian, program ini adalah program pribadi PSSI, bukan program sepak bola nasional.
Sejatinya, program mendidik pelatih (kata PSSI, mencetak) sepak bola usai akar rumput sewajibnya sama persis dengan pendidikan calon guru PAUD. PSSI bisa saja tidak perlu kerja sama dengan DFB, tetapi PSSI bekerja sama dengan instansi terkait di dalam negeri, sumber daya dari bangsa sendiri, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Univeristas Negeri sebagai pendadar calon guru.
Selama ini tidak pernah terdengar ada program kerja sama antara PSSI dengan Kemendikbud, padahal objek yang didik sama, yaitu siswa. Malah, Kemenporalah yang rajin merecoki PSSI dengan menggelontorkan program yang menjadi tanggung jawab PSSI.
Bila di telisik, kini banyak sekali SSB di seluruh Indonesia yang telah menggunakan jasa pelatih dari mahasiswa atau lulusan dari Universitas Negeri jurusan kepelatihan olahraga (sepak bola) atau mantan pesepak bola yang memiliki ilmu mendidik siswa/pemain akar rumput justru sangat lengkap. Mereka tidak perlu berlisensi D atau D Plus.Â
Memahami pedagogik sesuai kelompok umur PAUD, tahu teknik mengajar, jeli menyentuh sektor intelgensi dan menggugah personaliti yang berdampak lahirnya pemain yang berkarakter dan berbudi pekerti baik. Mereka menjadi pelatih dan melakukan pembinaan dan pelatihan dengan program yang disusun secara ilmiah.
Dalam hal merancang kurikulum dan penerbitan Kurikulum Filanesia juga wajib libatkan ahli/pakar pendidikan/kurikulum. Lalu, menerbitkan kurikulum juga harus ada Pusat Kurikulum dan Perbukuan, sehingga, standar kurikulum dan penerbitan kurikulum ada penjaminan mutu dan ada uji kelayakannya.
Membentuk anak/siswa/pemain sepak bola usia akar rumput sama dengan mendidik anak PAUD. Tidak sembarangan, ada ilmunya, teorinya, dan praktiknya juga tidak didapat dengan cara instan.Â
Apalagi pertaruhannya adalah amanah menjadikan anak/siswa/pemain sepak bola usia akar rumput berkarakter dan berrkepribadian baik. Dapat menerapkan sportivitas, solidaritas, sosial, dan budaya yang baik di dalam dan luar lapangan. Bukan hanya mumpuni dalam teknik dan kemampuan bermain bola.
Yah, sayang, program kerja sama PSSI dan DFB yang sangat baik ini, tidak didahului dengan membenahi tata kelola pembinaan, pelatihan, dan kompetisi sepak bola akar rumput yang terafilasi di Askot, Askab, dan Asporv. Tidak pula melibatkan instansi terkait di dalam negeri yang justru profesional di bidangnya.
Kerja sama dengan DFB, dengan mencetak pelatih/instrukur lisensi D Plus, pilot project, Kurikulum Filanesia, ujung tombak penyebaran kurkulum, kira-kira langkah proses hingga muaranya akan seperti apa, publik sangat menunggu. Pengalaman telah membuktikan, selama ini berbagai program PSSI mengenai pembinaan pemain, sering putus di tengah jalan.
Jadi, setiap penggawa PSSI baru, seringkali membuat program baru, abaikan program lama dan terus berputar-putar hingga sepak bola nasional di akar rumput terus tertinggal. PSSI yang sekarang, mungkin tidak! Terlebih program membangun karakter dan kepribadian yang baik sesuai dengan nawa cita Presiden.
Hanya sebuah catatan kecil, semoga menjadi perhatian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H