Bahkan dalam program kerja sama yang sangat baik ini, publik sepak bola nasional, khususnya para pembina sepak bola usia akar rumput harus terkaget karena tiba-tiba PSSI punya program pilot project dengan memilih dua daerah di Indonesia sebagai calon pabrik pesepak bola nasional. Apa latar belakangnya? Seluruh provinsi di Indonesia kini menjamur SSB. SSB di semua provinsi bila ditata dan dikelola dengan benar akan menjadi pabrik pemain timnas handal. Bisa dijadikan pilot project semua!
Program mencetak instruktur dan pelatih berlisensi D Plus pun tentunya akan menjadi program instan. Berapa lama para calon instruktur dan pelatih akan dibina?Â
Lalu, ujung tombak penyebaran kurikulum baru, apakah benar-benar sumber daya yang memiliki kapabilitas?Â
Pelatih berlisensi D Plus yang diharapkan harus dapat mendidik siswa/pemain menjadi berkarakter dan berkepribadian baik dengan memiliki jiwa sportivitas, solidaritas, sosial, dan budaya. Dari segi pelatih atau instruktur adalah guru! Menjadi guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sekolah formal saja wajib berijazah S1 dengan menempu pendidikan selama empat tahun, delapan semester.
Libatkan Diknas dan Universitas
Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam artikel berjudul "Antara Pelatih, Kompetensi, dan Kurikulum" di Harian Olahraga terkemuka Indonesia tanggal 9 Maret 2017, nampaknya PSSI terkesan tidak belajar dari benang kusut dan fakta yang ada menyoal pembinaan akar rumput yang menjadi pondasi timnas handal.Â
Masih sangat banyak para pelatih SSB yang berlisensi D hingga di level atas, membina dan melatih siswa SSB dengan cara seperti melatih pemain dewasa. Mencekoki pemain hanya dalam bidang teknik dan speed. Hasilnya, lihat pemain timnas kita, masih banyak yang miskin intelejensi dan personaliti alias tidak berkarakter dan berkepribadian buruk.
Pelatih juga ada yang bergaya seperti pelatih sepak bola Eropa/Amerika, namun tidak dapat menyentuh siswa dalam kompetensi intelejensi dan personaliti yang akan berujung menjadikan pemain berkarakter, berkepribadian baik dan berbudi pekerti. Tidak memiliki ilmu sebagai guru yang paham pedagogik (kognitif, afektif, psikomotor).
Calon pelatih pesepak bola akar rumput harus memiliki berbagai kompetensi yang mempelajarinya tidak mungkin hanya tuntas dalam tempo seminggu dan lulus mendapat sertifikat D Plus. Terlebih, bagaimana menjalankan kurikulum di lapangan, juga butuh profesionalisme cara mengajar/melatih dengan membuat rancangan program melatih hingga mendidik siswa/pemain menjadi berkarakter dan berkepribadian baik.
Saya sangat paham dan yakin, bahwa para penggawa di PSSI itu cerdas! Tapi mengapa program kerja sama yang sangat baik ini harus potong kompas dan random. Bila demikian, program ini adalah program pribadi PSSI, bukan program sepak bola nasional.
Sejatinya, program mendidik pelatih (kata PSSI, mencetak) sepak bola usai akar rumput sewajibnya sama persis dengan pendidikan calon guru PAUD. PSSI bisa saja tidak perlu kerja sama dengan DFB, tetapi PSSI bekerja sama dengan instansi terkait di dalam negeri, sumber daya dari bangsa sendiri, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Univeristas Negeri sebagai pendadar calon guru.