Mohon tunggu...
Su Parmin
Su Parmin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

RAMAH HUMORIS CERIA PENYAYANG

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

**Bulan Buat Maman**

28 Desember 2014   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:19 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana kampung Banjaran sangat hening malam ini. Suara jangrik bernyanyi bersama malam yang panjang. Udara dingin khas daerah pegunungan terasa sampai ulu hati. Mendung di langit luas kelihatan menghitam. Beberapa kali kilatan cahaya di langit lepas. Pertanda hujan malam akan segera turun. Musim penghujan memang telah datang dengan cepat. Menandakan waktu semakin berlalu dan tidak akan pernah dapat diputar ulang.

Di sebuah rumah sederhana, seorang laki-laki selesai mengajar anak-anak. Rumah itu hanya terbuat dari sedikit papan dan anyaman bambu. Rumah yang sudah reot, dengan lantai dari dari tanah hitam. Laki-laki itu benama Maman, umurnya kurang lebih 28 tahun. Satu-satunya guru mengaji di kampung Banjaran.

“Anak-anak, besok jangan lupa datangnya lebih cepat. Agar pulangnya lebih cepat juga” Maman memberikan perintah pada santri-santrinya.

“Iya, Pak Ustadz” Anak-anak yang berjumlah sekitar sepuluh orang menjawab serentak.

“Jangan lupa juga, hafalan Juz Amma. Siapa yang hafalannya paling banyak, Bapak berikan hadiah” Maman akan memberikan hadiah pada santri yang hafalannya paling banyak.

“Hore..asyik..besok Nadia pasti yang paling banyak” Santri bernama Nadia berteriak girang.

“uh..ndak…ndak besok Randi yang paling banyak” Santri bernama Randi berkata, giginya kelihatan ompong. Kompak seluru santri tertawa. Maman juga ikut tertawa melihat tingkah laku santrinya.

“Pokoknya, siapa yang paling banyak, bapak berikan hadiah” Maman menengahi suara anak-anak yang ribut.

Pengajian selepas Magrib itu diakhiri dengan doa penutup majlis. Anak-anak segera pulang ke rumah masing-masing. Maman sangat mencintai anak-anak di kampung Banjaran. Kelak mereka yang akan mempimpin negeri ini. Negeri ini sudah rusak, jika anak-anak itu tidak diselamatkan, kelak di masa depan tidak ada lagi pemimpin yang adil dan mengayomi.

“Kang Maman, pie kondisi kampung kita?” Haryati menggelondot manja di pelukan Maman.

Saat usia kandungan yang ke delapan bulan, Haryati semakin manja. Jilbab biru tua yang dipakai Haryati justru membuat Haryati semakin cantik. Jilbab biru tua, dibeli Maman di pasar loak dengan harga yang sangat murah. Haryati tetap menerima dengan lapang pemberian Maman. Haryati adalah sesosok wanita sederhana yang sangat jarang ditemukan zaman ini.

Meskipun sulit, Haryati tetap mencintai Maman. Cinta Haryati telah sempurna diberikan pada Maman setelah ijab qabul satu setengah tahun yang lalu. Maman menikahi Haryati dengan mahar dengan uang tidak lebih dari dua ratus rupiah. Mereka menikah di mushola tengah kampung, dengan acara yang sangat sederhana. Maman, kini telah mengabdikan cinta sucinya pada Haryati dan anak-anak kampung Banjaran. Haryati dan anak-anak kampung Banjaran adalah rembulan yang akan selalu menerangi laku hidup Maman.

“Kang Maman bingung juga Ndok. Sudah aku peringatkan seluruh warga. Agar mereka mau mengaji. Tapi ndak ada yang mau Ndok”.

“Sabar ya Kang, mungkin mereka belum mendapatkan hidayah”.

“Kang Maman takut Allah SWT murka Ndok”.

“Husshhh, Kang Maman ndak boleh bilang gitu. Kita doakan yang terbaik buat warga”

“Mushola itu hampir ambruk. Tidak ada lagi warga yang mau mengerjakan shalat. Malahan, judi, syirik, mabok-mabokan makin jadi budaya”

“Ya sudah Kang, semoga Allah SWT melindungi warga kampung kita”

*******

Malam itu, Maman benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Ada firasat buruk yang hadir dalam pikirannya. Hingga jam dua pagi Maman benar-benar tidak bisa tidur. Di luar rumah angin bertiup semakin kencang. Langit tampak semakin hitam pekat. Pertanda hujan badai akan segera turun. Ada sebagian warga yang masih setia dengan judinya. Setiap malam di kampung Banjaran, judi selalu menjadi aktivitas yang menarik.

Jam 12 malam hujan mulai turun disertai dengan badai yang cukup besar. Maman menengadahkan tangan untuk menghadang air yang menetes ke tubuh Haryati. Atap rumah Maman sudah lama bocor namun belum ada uang untuk membeli genteng yang baru. Haryati dan anak yang dikandungnya, bulan yang terus memberikan semangat hidup Maman. Meskipun sulit, Maman berjanji akan menjaga dan mecintai Haryati.

Dari puncak bukit terdengar suara gemuruh bagaikan ada gempa. Maman terbangun dari ranjangnya, dia berdoa sebentar. Kemudian memeriksa ke luar rumah. Mencari tahu asal suara gemuruh yang tadi terdengar. Namun suara gemuruh itu sudah tidak terdengar lagi. Maman merasakan firasat buruk berkecamuk dalam pikirannya. Dia berlari ke luar rumah, hendak membangunkan warga yang lain. Dia berlari ke arah gardu dia bunyikan kentongan untuk membangunkan warga.

“Thor thor thor thor” Maman membunyikan kentongan tanda bahaya. Namun belum ada warga yang datang. Mungkin warga masih nyenyak dalam tidurnya. Yang datang hanya dua orang yaitu Bapaknya Nadia dan Randi.

“Ada apa pak Ustadz” Bapaknya Nadia yang bernama Samidi datang tergopoh-gopoh.

“Iya ustadz, ada apa ini?” Bapaknya Randi bernama Nagdiman juga datang tergopoh.

“Saya merasakan firasat buruk Pak. Saya takut akan terjadi bencana di kampung kita. Tadi terdengar suara gemuruh di puncak bukit”

“Terus bagaimana Pak ustadz”

“Bangunkan seluruh warga. Bawa perlengkapan seperlunya saja. Kita menjauh dari kampung ini. Jam setengah lima kita shalat subuh di mushola. Setelah itu bersama kita pergi dari kampung ini”

Jam setengah lima ada berapa warga yang datang di mushola. Setelah itu mereka bersama-sama hendak berangkat meninggalkan kampung. Tiba-tiba Haryati mengaduh kesakitan, kandungannya kontraksi. Saat itu juga hujan semakin lebat disertai angin yang sangat kencang. Selisih beberapa menit terdengar suara gemuruh sangat besar dari puncak bukit.

Beberapa warga berhamburan untuk menyelamatkan diri. Namun longsoran tanah bersama air bah datang begitu cepat. Mereka tidak sempat menyelamatkan diri. Kampung itu seperti dibalik persis seperti pada kisah kaum Nabi Nuh.

Begitu mata terbuka, tubuh Maman penuh dengan lumpur hitam. Maman tidak tahu berada di mana dirinya sekarang. Kondisi kampung sudah porak poranda tertimbun longsoran tanah dari puncak bukit. Maman menangis histeris, Haryati tidak bersamanya.

Dia mengutuk dirinya yang tidak sanggup membawa istrinya. Banjir bah disertai tanah longsor datang sangat cepat. Kini kampung Banjaran telah terkubur olah tanah yang berasal dari bukit. Maman mencoba bangkit, matahari sudah naik sepenggalah. Tubuhnya sudah lunglai, seakan dia tidak mampu berjalan. Matanya menarawang jauh, barangkali ada warga yang masih hidup.

Dari kejahuan, nampak samar-samar sebuah rumah masih berdiri. Maman kucek matanya yang berlumpur. Mushola itu? Mushola yang tadi pagi digunakan untuk subuh berjamaah masih berdiri. Maman mempercepat langkahnya, barangkali masih ada warga yang selamat di dalam mushola itu. Maman berusaha berlari menuju mushola itu walaupun kakinya terasa berat untuk bisa diajak berlari.

“Ndok, Haryati” Maman berlari memeluk Haryati. Namun tubuh Haryati lemah dan menggigil kedinginan.

“Kang Maman..masih hidup?” Suara Haryati lirih, air matanya masih menetes. Maman melihat banyak darah di kaki Haryati.

“Ndok..anak kita?” Maman tampak kebingungan.

“Kang…itu!” Suara Haryati lirih, telunjuknya mengarah ke pojok mushola. Segara Maman mengarahkan pandangannya ke sana.

“Allahu Akbar Allahu akbar, Nadia Randi” Maman mengucapkan takbir dua kali.

Di pojok mushola dia dapati Nadia dan Randi menggigil kedinginan. Dalam dekapan Nadia dan Randi ada dua bayi mungil laki-laki dan perempuan, masih ada darah dan tampak bergerak-gerak. Dalam kondisi setengah sadar, Nadia dan Randi masih melafalkan hafalan Juz Amma yang tadi malam dia perintahkan. Maman segera memeluk mereka berempat agar tidak kedinginan. Maman berjanji akan menyelamatkan Nadia, Randi, dan dua bayi kembar mungil itu, agar kelak menjadi bulan bagi negeri ini.

The End

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun