Mohon tunggu...
Su Parmin
Su Parmin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

RAMAH HUMORIS CERIA PENYAYANG

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

**Bulan Buat Maman**

28 Desember 2014   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:19 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Thor thor thor thor” Maman membunyikan kentongan tanda bahaya. Namun belum ada warga yang datang. Mungkin warga masih nyenyak dalam tidurnya. Yang datang hanya dua orang yaitu Bapaknya Nadia dan Randi.

“Ada apa pak Ustadz” Bapaknya Nadia yang bernama Samidi datang tergopoh-gopoh.

“Iya ustadz, ada apa ini?” Bapaknya Randi bernama Nagdiman juga datang tergopoh.

“Saya merasakan firasat buruk Pak. Saya takut akan terjadi bencana di kampung kita. Tadi terdengar suara gemuruh di puncak bukit”

“Terus bagaimana Pak ustadz”

“Bangunkan seluruh warga. Bawa perlengkapan seperlunya saja. Kita menjauh dari kampung ini. Jam setengah lima kita shalat subuh di mushola. Setelah itu bersama kita pergi dari kampung ini”

Jam setengah lima ada berapa warga yang datang di mushola. Setelah itu mereka bersama-sama hendak berangkat meninggalkan kampung. Tiba-tiba Haryati mengaduh kesakitan, kandungannya kontraksi. Saat itu juga hujan semakin lebat disertai angin yang sangat kencang. Selisih beberapa menit terdengar suara gemuruh sangat besar dari puncak bukit.

Beberapa warga berhamburan untuk menyelamatkan diri. Namun longsoran tanah bersama air bah datang begitu cepat. Mereka tidak sempat menyelamatkan diri. Kampung itu seperti dibalik persis seperti pada kisah kaum Nabi Nuh.

Begitu mata terbuka, tubuh Maman penuh dengan lumpur hitam. Maman tidak tahu berada di mana dirinya sekarang. Kondisi kampung sudah porak poranda tertimbun longsoran tanah dari puncak bukit. Maman menangis histeris, Haryati tidak bersamanya.

Dia mengutuk dirinya yang tidak sanggup membawa istrinya. Banjir bah disertai tanah longsor datang sangat cepat. Kini kampung Banjaran telah terkubur olah tanah yang berasal dari bukit. Maman mencoba bangkit, matahari sudah naik sepenggalah. Tubuhnya sudah lunglai, seakan dia tidak mampu berjalan. Matanya menarawang jauh, barangkali ada warga yang masih hidup.

Dari kejahuan, nampak samar-samar sebuah rumah masih berdiri. Maman kucek matanya yang berlumpur. Mushola itu? Mushola yang tadi pagi digunakan untuk subuh berjamaah masih berdiri. Maman mempercepat langkahnya, barangkali masih ada warga yang selamat di dalam mushola itu. Maman berusaha berlari menuju mushola itu walaupun kakinya terasa berat untuk bisa diajak berlari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun