Pekerjaanku adalah menjadi preman di Pasar Bering Harjo Yogyakarta. Semua orang mengenal diriku Saidi Armando, sang preman. Tapi jangan salah aku memang preman pasar. Tapi aku hanya berbuat jahat untuk orang jahat. Hanya orang kaya pelit yang sering aku palak di pasar Bering Harjo. Orang kaya yang tidak pernah peduli dengan nasib kami. Aku lahir dalam keadaan Islam, namun hanya Islam KTP. Setiap hari aku memalak para pedagang di kios-kios Pasar Bering Harjo. Jika pemilik kios itu tidak memberikan uangnya aku akan marah. Akan aku obrak-abrik kios mereka.
****
“Le..Saidi..duduk sini Emak mau bicara”. Sepulang dari Pasar Bering Harjo tadi Emak ingin bicara padaku. Di samping Emak ada seorang gadis berjilbab putih. Sekilas wajahnya aku lihat sangat teduh. Bodo amat, aku tidak peduli dengan gadis itu. Aku tidak mau peduli siapa gadis itu. Aku duduk di samping Emak. Aku cium kedua tangan Emak yang mulai keriput. Aku memang preman Pasar Bring Harjo, tapi aku mecintai Emak. Tidak sekalipun aku berbuat kasar sama Emak.
“Ada apa sih Mak. Saidi lagi capek nih?” Aku seakan berbiacara acuh dan tidak acuh sama Emak.
“Kenalkan. Dia Gayatri Untari, anaknya Lek Wakidi. Gayatri sudah selesai mondok di Pesantren Krapayak”
“Apa hubungannya dengan Saidi Mak?” Aku meyakinan Emak. Aku pandangi sekilas wajah Gayatri. Dia Nampak tersenyum, wajahnya memang cantik sederhana.
“Gayatri sudah selesai menghafal Al Qur’an. Rencana setiap sore dia mau mengajari Emak baca Al Qur’an” Emak menjelaskan keinginannya belajar membaca Al Qur’an pada Gayatri.
“Ngapain belajar baca Al Qur’an Mak. Toh kita akan tetap hidup miskin?”
“Le…Saidi. Gayatri ini sedang mencari jodoh” Emak tersenyum padaku. Gayatri sekilas juga tersenyum simpul.
Aku beringsut masuk ke kamar mengacuhkan Gayatri yang duduk di depan Emak. Aku berpura-pura pamit untuk shalat Ashar. Namun, di dalam kamar aku hanya tidur saja. Wajah Gayatri dengan senyumnya kembali hadir di mataku. Entah apa sebenarnya keinginan Emak bilang kalau Gayatri sedang mencari jodoh.
Bukankah di pondok sana banyak lelaki penghafal Al Qur’an? Bukankan di pondok sana banyak lelaki yang pandai membaca Kitab Kuning? Aku hanya perman pasar yang tidak pandai mengaji. Aku memang bisa membaca Al Qur'an namun masih terbata-bata. Apakah Emak hendak menjodohkan aku dengan Gayatri? Apakah Gayatri bersedia menikah dengan preman pasar seperti diriku? Betapa bodohnya Gayatri jika bersedia menikah denganku.
Pagi itu aku benar-benar menikah dengan Gayatri. Di masjid sederhana dekat kawasan Bering Harjo, aku mengucapkan Ijab Qabul. Gayatri rela dan ikhlas menjadi istriku. Tapi aku tetap saja acuh padanya, aku tidak peduli padanya.
Setelah selesai ijab qabul, aku masuk kamar pengantin. Aku lihat wajah Gayatri Untari yang kini sudah menjadi istriku. Aku duduk di sampingnya dan masih tidak memperdulikannya. Hampir setengah jam aku dan Gayatri tidak berbicara apa-apa.
“Kang Saidi benci Gayatri” Sesaat Gayatri mulai membuka pembicaraan
“Iya. Kang Saidi benci kamu. Bahkan aku sangat benci kamu” Aku berkata tegas pada Gayatri. Seketika Gayatri semakin menangis.
“Seburuk apapun Kang Saidi, Gayatri tetap mencintai Kang Saidi. Gayatri sah jadi istri Kang Saidi. Gayatri ingin ridha dari Kang Saidi. Kelak, Gayatri ingin masuk surga bersama Kang Saidi”.
“Aku tidak sudi mencintaimu. Sudah aku bilang sejak awal. Kenapa kamu tidak memilih lelaki yang lebih baik dari aku. Di pondok kamu itu kan banyak lelaki penghafal Al Qur’an.
“Kang ini demi Emak. Pesan Emak agar Gayatri mencintai Kang Saidi akan tetap aku lakukan”
Aku beringsut dari kamar pengantinku. Aku sama sekali tidak menyentuh Gayatri. Malam pengantin itu aku tinggalkan Gayatri sendirian. Aku langkahkan kaki ke kawasan pasar Bering Harjo. Aku bergadang bersama teman-temanku hingga menjelang pagi hari. Aku pulang ke rumah setiap pukul tiga pagi. Setiap aku pulang jam tiga pagi, aku temukan Gayatri bersujud di atas sajadah lusuhnya.
Aku habiskan tiap malamku bersama teman-teman di kawasan Bering Harjo. Namun Gayatri tetap tersenyum padaku. Setiap pagi dia menyiapkan teh hangat padaku. Semakin aku membenci Gayatri, malahan dia semakin menunjukkan baktinya padaku. Dia bilang sangat mecintaiku mesti diriku tidak pernah mecintainya. Dia menegaskan kelak ingin masuk surga bersamaku.
Hingga pada malam itu, sekitar jam 10 malam aku pulang dari Bering Harjo. Tubuhku terasa gerah dan panas, maka aku mandi saja. Coba-coba aku mengambil wudhu sebisa mungkin. Aku ingat, aku berwudhu terakhir saat kelas enam sekolah dasar. Aku masuk kamar, di sana Gayatri sedang tidur. Aku pandangi wajahnya, sangat cantik sempurna. Hanya orang bodoh dan gila yang menolak mencintai Gayatri. Hatiku goyah seketika, perasaanku menciut.
Aku peluk Gayatri pelan-pelan takut membangunkan tidurnya. Setelah itu aku kecup kening dan bibir Gayatri. Hatiku bergetar hebat, ada perasaan bahagia sulit diungkapkan. Aku memang preman, namun inilah pertama kali aku memeluk perempuan. Inilah pertama kali aku mencium bibir seorang gadis. Tiba-tiba Gayatri terbangun kemudian tersenyum padaku. Aku kecup kening dan bibir Gayatri sekali lagi. Bulan purnama di luar tampak malu melihat kami. Bulan purnama menjadi saksi bisu kejadian malam itu. Malam itu, Gayatri telah sempurna menjadi istriku.
“Kang Saidi, terima kasih. Gayatri mecintai Kang Saidi” Pagi itu Gayatri tersenyum padaku. Dia menyiapkan teh hangat buatku. Namun aku tetap acuh dengan kejadian tadi malam. Seakan tidak pernah tejadi apa-apa. Hingga dua bulan kemudian Gayatri mengatakan sangat bahagia. Gayatri, sedang mengandung anaku yang berusia tiga bulan.
****
Pagi ini aku bergegas pulang kemudian minta maaf pada Gayatri atas kelakuan burukku selama ini. Aku ingin bersujud di kakinya. Air mataku semakin membasah, hidayah itu menyeruak dalam kalbuku. Aku ingin mempersembahkan surga untuk Gayatri. Gayatri, istriku wanita yang teramat sederhana dengan keteguhan jiwanya. Mudah-mudahan Gayatri membuka pintu maaf untukku. Semoga Allah SWT memberikan pahala surga pada istriku.
“Kang Saidi Bangun..! Jam tiga Kang….temani Gayatri shalat Tahajud” Gayatri membangunkanku pagi itu
“Masih ngantuk ah…malas. Buat apa shalat? Ga bikin kita kaya” Aku berkata setengah tidur dan setengah sadar.
“Kang lewat sajadah tua ini, Gayatri pengin masuk Surga” Gayatri mulai melaksanakan shalat Tahajud. Aku tetap tertidur dan acuh pada Gayatri.
Paginya sajadah itu akanku bakar, apa guna sajadah ini? Tidak mungkin membuatku kaya? Gayatri menangis memohon padaku agar tidak membakar sajadah lusuh itu. Dia bilang hanya punya sajadah itu, dia ingin masuk Surga melalui sajadah itu. Aku kalah, kemudian aku lempar saja sajadah itu ke tong sampah.
*******
Aku buka pintu kamar, aku panggil Gayatri, dengan lirih. Air mataku masih menetes, aku cari gayatri di sudut kamar, tapi tidak aku temukan dia.
Aku buka pintu kamar belakang, jam menunjukkan angka tiga pagi..
“Gayatri…Gayatri Dek..bangun. Jangan tinggalkan Kang Saidi Dek. Maafkan Kang Said Dek. Kang Saidi sangat mencintaimu Dek?” Tangisku semakin menjadi, memenuhi seluruh ruangan kontrakkanku.
Aku dekap erat-erat tubuh Gayatri yang sudah terdiam tidak bernafas. Aku temukan Gayatri bersujud lama di atas sajadah lusuhnya. Gayatri tidak pernah bangun lagi, sajadah lusuh tua itu telah menghantarkan Gayatri ke Surga. Anaku yang dikandungnya menemani Gayatri masuk surga bersama sajadah lusuhnya. Aku berjanji, kelak aku akan menyusul ke surga bersama SAJADAH LUSUH GAYATRI.
THE END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H