Mohon tunggu...
Suparjo Ramalan
Suparjo Ramalan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kerja Keras & Kerja Cerdas

Hidup bukan kanebo kering. Selow aja bro !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Garap-garap Proyek Jadi Tren di Kalangan Aktivis Kampus

1 Juli 2019   09:50 Diperbarui: 1 Juli 2019   09:53 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, saya lupa pukul berapa dan hari apa, sebuah message via WhatsApp muncul di layar HP saya, tentu saja, message itu dari orang yang cukup saya kenal. Isi message itu kira - kira seperti ini "Assalammualaikum dinda, nggak sibuk, kan ?, bisa ketemu malam ini ?."

Nggak mikir panjang saya pun membalas "Ketemu di mana, kanda ?."

Pertemuan pun berlangsung di sebuah kedai kopi yang nggak jahu dari kampus, tempat saya pontang - panting selama lima tahun enam bulan dua minggu delapan hari karena nggak kunjung diwisudai. Seperti yang sudah-sudah, pertanyaan basah-basih selalu jadi favorit pembuka obrolan manusia mana pun.

"Gimana kabar dinda?."

 "Kapan wisudahnya?"

 "Agenda terdekat apaan?" Maksud pertannyaan ini ditujukan ke pengurus harian salah satu organisasi ekstra kampus yang saya ikuti dan kebetulan saya salah satu pengurus hariannya.

Tanpa menunggu waktu lama, pertanyaan basah-basih itu pun berlangsung menjadi obrolan gado-gado (variatif). Dari tema soal organisasi, menjadi tema sepakbola hingga obrolan yang  begitu cair kayak es cendol, tentu saja soal wanita. Ehemm.

Sebenarnya, obrolan malam itu cukup mengasikan bagi saya, lagi-lagi soal wanita, tentu saja. Namun, perkaranya obrolan yang secair itu harus berujung menjadi bak obrolan politisi korup dengan pengusaha kaya yang penuh perhitungan untung rugi secara ekonomi dan politik.

Artinya, kawan obrolan saya itu harus menyodorkan sebuah tawaran yang menurut saya adalah inti pertemuan kami.

"Saya mau kasih kamu gawean, kamu buat seminar soal bla, bla, bla dan nggelar aksi soal bla, bla, bla. Ada anggaran operasionalnya. Yah, cukup lah ngebantu keuangan kepengurusan periode kamu." Kira - kira macam itu tawarannya.

"Nanti peserta dan masa aksi akan di bayar per kepala. Yah, kamu dan temen - temen bisa lah itung - itungan di situnya. Mayan, kan duitnya ?."

Nah, di sini poin pentingnya kedua tawaran itu. Jadi, setiap masa aksi atau peserta seminar yang ikut terlibat akan di bayar. Dan tugas saya adalah mengakomodir sebanyak mungkin mahasiswa plus menyediakan tempat buat kelangsungan acara.

Andai kata ni ya, sekali lagi, ANDAI KATA, saya menerima tawaran itu dan setiap per kepala akan dibayar lebih kecil atau tidak sesuai (misalkan, Rp 50.000 per kepala) dengan bayaran yang seharusnya (misalkan, Rp 100.000 per kepala), otomatis saya akan dapat sekian persen dari dana operasional kegiatan itu. Tentu, ini tergantung seberapa banyak peserta yang saya targetkan. Istilahnya, makin banyak orang, semakin banyak duit yang saya kantongi.

Belum lagi honor yang harus saya terima - di luar  akal-akalan biaya peserta - dari pihak yang punya acara.

Enak toh rasanya ? Wong tanpa harus saya susah paya buat bazar atau jualan ini dan itu buat biaya kegiatan organisasi. Tawaran itu, malah tinggal ngundang orang jutaan duit bisa masuk di kas organisasi atau masuk di kantong pribadi saya. Emejing sekali, bukan ?  

***

Emang, nggak bisa dinafikan sih, perkara garap-garap proyek menjadi tren di kalangan aktivis kampus belakangan ini. Entah, sejak kapan tren itu bermula, saya nggak tahu ? Yang jelas gejala itu saya pahami sejak saya terlibat aktif di salah satu organ ekstra kampus.

Lebih-lebih, semenjak status saya sebagai keanggotaan baru (istilahnya, kader yang masih polos gitu), sudah kesekian kali saya menjadi peserta aktif dalam proyek-proyek serupa yang digelar oleh orang yang berbeda-beda pula. Saat itu, pikir saya, menghadiri gelaran acara demikian adalah bagian dari cara saya berorganisasi.

"Kita nggak boleh alergi dengan pemerintah. Kritik boleh saja, tapi pemerintah itu harus dijadikan mitra kerja organisasi."  Sabda salah satu senior saya. 

Baiklah, patut saya jelasin dulu. Yang namanya garap-garap proyek itu bukan konstruksi mega proyek atau pembagunan secara fisik ya, kata proyek di sini bisa kita pahami sebagai kegiatan titipan. Ko kegiatan titipan sih ?.

Emang iya, perumpamaannya begini; si fulan adalah aktivis, si fulan punya kenalan si A, dan si A punya kenalan si B, kebetulan si B kerjanya di salah satu Kementrian. Nah, kebetulan juga Kementrian tersebut masih punya anggaran dari APBN yang membludak. Dari pada harus dikembalikan lagi ke kas negara, maka dibuat seminar atau acara apalah itu yang nota bene harus melibatkan mahasiswa.

Nah, di karenakan ada kenalan-kenalan tadi, singkat cerita, si fulan sebagai aktivis itu bersedia atau nggak bersedia, biasanya menjadi pelaksana seminar sekaligus merekrut peserta.

Tentunya, Perumpamaan si fulan itu sangat sesuai dengan cerita saya di awal tulisan ini.

Persoalan kenal-mengenal. Kawan saya pernah bertutur "Aktivis itu harus punya link (kenalan) di Pemerintah." Malah, kata dia, kalau kita (aktivis) mau dibilang hebat, jangankan menghadirkan tokoh atau pejabat negara di acara yang kita adain, ngegolin proposal kegiatan di salah satu Kementrian aja tuh, ke-aktivis-an kita barulah diakui. Selama kita belum termasuk dalam ukuran kehebatan itu, ke-aktivis-an kita belum lah HQQ.

Tentu saja, statement kawan saya itu masih perluh diperdebatkan kembali.

Namun, terlepas dari kesalahan berpikir kawan saya, hebatnya, ukuran macam itu diaminin sekian orang aktivis kampus yang saya ketahui. Artinya, narasi atau gagasan solutif  yang nantinya kita tawarkan dari sebuah permasalahan bukan lagi menjadi ukuran, melainkan seberapa greget-nya kita (aktivis kampus) berlomba-lomba merancang dan kemudian memasukan proposal kegiatan di atas sono (pemerintah).

Perkaranya, proposal kegiatan yang nantinya kita ajukan (biasanya ke Kementrian atau MPR RI) punya tujuan dan esensi yang sama dengan kegiatan titipan. Bukan soal narasi dan konsep pemberdayaan masyarakat, bukan pula konsep dan narasi pendidikan bagi masyarakat pelosok, atau kegiatan yang dirancang secara mateng dan sistematis yang diperuntuhkan dan dirasai oleh masyarakat, akan tetapi, isi proposal itu?, ya gitu, seminar dan seminar lagi yang ada uang sakunya.

Klise sih sebetulnya. Karena saking klisenya muncul pribahasa, "Tangan kiri di kepal, tangan kanan doyan kirim proposal".

Bila kalimat simbolis itu saya tafsirkan, maknanya kira-kira begini; "Ente suka kritik pemerintah, tapi ente juga doyan minta-minta proyek ke pemerintah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun