Tentunya, Perumpamaan si fulan itu sangat sesuai dengan cerita saya di awal tulisan ini.
Persoalan kenal-mengenal. Kawan saya pernah bertutur "Aktivis itu harus punya link (kenalan) di Pemerintah." Malah, kata dia, kalau kita (aktivis) mau dibilang hebat, jangankan menghadirkan tokoh atau pejabat negara di acara yang kita adain, ngegolin proposal kegiatan di salah satu Kementrian aja tuh, ke-aktivis-an kita barulah diakui. Selama kita belum termasuk dalam ukuran kehebatan itu, ke-aktivis-an kita belum lah HQQ.
Tentu saja, statement kawan saya itu masih perluh diperdebatkan kembali.
Namun, terlepas dari kesalahan berpikir kawan saya, hebatnya, ukuran macam itu diaminin sekian orang aktivis kampus yang saya ketahui. Artinya, narasi atau gagasan solutif  yang nantinya kita tawarkan dari sebuah permasalahan bukan lagi menjadi ukuran, melainkan seberapa greget-nya kita (aktivis kampus) berlomba-lomba merancang dan kemudian memasukan proposal kegiatan di atas sono (pemerintah).
Perkaranya, proposal kegiatan yang nantinya kita ajukan (biasanya ke Kementrian atau MPR RI) punya tujuan dan esensi yang sama dengan kegiatan titipan. Bukan soal narasi dan konsep pemberdayaan masyarakat, bukan pula konsep dan narasi pendidikan bagi masyarakat pelosok, atau kegiatan yang dirancang secara mateng dan sistematis yang diperuntuhkan dan dirasai oleh masyarakat, akan tetapi, isi proposal itu?, ya gitu, seminar dan seminar lagi yang ada uang sakunya.
Klise sih sebetulnya. Karena saking klisenya muncul pribahasa, "Tangan kiri di kepal, tangan kanan doyan kirim proposal".
Bila kalimat simbolis itu saya tafsirkan, maknanya kira-kira begini; "Ente suka kritik pemerintah, tapi ente juga doyan minta-minta proyek ke pemerintah."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H