Pernah dengar orang tua yang menjual barang berharganya untuk menyekolahkan anaknya? Pernah jumpa orangtua yang rela berhutang di sana sini untuk biaya pendidikan anaknya? Pernah lihat orang tua yang rela membanting tulang bekerja, rela kepala jadi kaki, kaki jadi kepala untuk membayar uang sekolah anaknya?
Atau, malah beberapa cerita di atas itu merupakan pengalaman kita sendiri? Cerita di atas bukan sedikit. Banyak. Terlalu banyak malah.Â
Bahkan dengan kisah yang lebih heroik. Di suatu daerah, masyarakatnya terkenal dengan kenekatan menyekolahkan anaknya. Bahkan rela jual rumah, tanah, atau kebun asal anaknya lanjut sekolah. Tentu, dalam hal ini  sekolah bisa disamakan kuliah.Â
Ya, masyarakat kita memandang sangat penting sebuah pendidikan. Biarlah hidup miskin asal bisa menyekolahkan anak sampai setinggi-tingginya.Â
Sering pula kita dengar kesah orang tua begini, "Cukuplah orang tua yang tidak selesai sekolah. Anak kalau bisa jangan seperti orang tuanya."
Sampai di sini, kita sepakat ya, kalau pendidikan itu penting. Banyak yang mengamininya. Saya tak hendak mengatakan semua orang ya. Sebab faktanya ada juga orang yang menganggap pendidikan tidak penting.Â
"Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya kembali ke rumah."
"Buat apa jadi sarjana. Banyak juga sarjana yang menganggur."
"Nggak usah pintar-pintar amat. Toh sudah kaya. Kekayaan orang tuanya nggak akan habis tujuh turunan."
Tuh, banyak juga yang nggak sepakat. Menolak bahwa pendidikan itu penting. Â Alasan si miskin atau kaya kadang sama. Sekolah dianggap hanya membuang waktu. Lebih baik digunakan untuk kerja. Membantu orang tua di ladang atau kebun. Lebih cepat dapat uang.Â
Daripada, kalau sekolah, justru menghabiskan biaya. Padahal, untuk kehidupan sehari-hari saja sudah susah.Â