Mohon tunggu...
Sun-Shines
Sun-Shines Mohon Tunggu... -

You Can Not Manage What You Can Not Measure

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa Besar yang Tak Semestinya Butuh Tax Amnesty

18 April 2016   08:25 Diperbarui: 18 April 2016   08:35 2715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang tidak mudah untuk mengubah dokumen pajak menjadi penerimaan pajak, tapi bukan hal yang mustahil. Pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti seluruh data yang telah menjadi perhatian publik tersebut, baik yang terkait dengan Panama Papers dan 6.000 data lainnya, maupun data 2.000 perusahaan PMA dan data perusahaan e-commerce, selambatnya akhir bulan depan agar potensi pajak yang terkandung dalam data tersebut dapat segera digali dan menjadi penerimaan pajak, sebelum tahun 2016 ini berlalu.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah: dengan desain dan konstruksi Ditjen Pajak seperti sekarang ini, apakah Ditjen Pajak mampu menyelesaikan data/dokumen yang menggunung seperti itu dengan segera agar mampu mensupport program Jokowi?

Era sekarang adalah era digital high technology yang mampu memaksa jaman berubah dengan cepat. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan jaman maka dipastikan akan terjungkal. Kita sudah saksikan deretan perusahaan raksasa dunia yang merajai pasar di masa lalu, misal Nokia, Siemens, Sony, Ericsson, Motorola, Kodak, MGM, Avon, Chrysler, Toshiba, dlsb, yang tumbang karena terlambat beradaptasi. Jika Ditjen Pajak adalah sebuah korporasi swasta, apakah akan senasib dengan perusahaan-perusahaan tersebut karena dalam kurun 10 tahun terakhir selalu kedodoran dalam mengamankan penerimaan pajak?
 

Tax Amnesty Bukan Jawaban

Saat ini, pemerintah sedang menantikan terbitnya UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty untuk mengakselerasi penerimaan pajak. Tax Amnesty memang salah satu program yang ditujukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini, sekaligus menarik dana yang parkir di luar negeri, termasuk di kawasan suaka pajak.

Program ini sendiri masih mengundang pro-kontra, dan penulis lebih condong kepada pendapat yang kontra. Menurut hemat penulis, yang diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak bukan program Tax Amnesty, tetapi peningkatan kemampuan Ditjen Pajak dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum, dari pemeriksaan hingga penagihan. Ini lebih utama. Penegakan hukum yang kuat, fair dan massive akan lebih menjanjikan daripada Tax Amnesty. Semakin besar kemampuan Ditjen Pajak, semakin besar pula pajak yang akan diperoleh negara.

Tax Amensty bahkan dikhawatirkan akan membawa efek negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak di masa yang akan datang. Selain itu pula, jika Tax Amnesty diarahkan untuk menarik dana besar yang di parkir di luar negeri, masih diragukan efektifitasnya. Bisa jadi Tax Amnesty hanya akan dimanfaatkan untuk membayar sejumlah pajak saja, tetapi dananya masih utuh di parkir di luar negeri, tidak ada investasi yang masuk. Namun jika arah utamanya adalah untuk menambal penerimaan pajak tahun 2016 sekitar 60-100 triliun, maka kebijakan Tax Amnesty memang tepat.

Tak Semestinya Bangsa Ini Membutuhkan Tax Amnesty

Saat krisis moneter tahun 1997-1998 melanda Korea Selatan, pemerintahan Kim Young Sam mengajukan utang kepada International Monetary Fund (IMF) sebesar US $ 57 miliar. Oleh warga Korea, utang ini disebut sebagai ‘jalan keluar terburuk dan membawa malu negara’. Untuk segera lepas dari cengkeraman utang itu pemerintah Korea Selatan memberlakukan aturan ketat yang melarang pemberian kredit secara mudah kepada para chaebol (taipan). Warga Korea Selatan berbondong-bondong untuk mendonasikan perhiasan emasnya. Para wanita kaya menyumbangkan cincin kawinnya, dan para atlet menyumbangkan trofi dan medali-medali emasnya kepada negara untuk dilebur menjadi emas batangan (ingots). Bahkan mereka rela antri berjam-jam untuk melakukan hal patriotik itu!

Tak lebih dari satu minggu kemudian, telah terkumpul emas sebanyak 8 metrik ton, dan dalam waktu kurang dari 5 tahun pemerintah Korea Selatan telah melunasi utangnya kepada IMF, atau 3 tahun lebih cepat dari tanggal jatuh tempo. Sekarang, Korea Selatan telah menjelma menjadi negara modern yang ekonominya menduduki peringkat terbesar kedua belas berdasarkan PDB dan ekspornya kedelapan terbesar di dunia. Itu yang terjadi di Korea Selatan, bagaimana dengan Indonesia? Apakah hanya untuk membayar pajak yang sudah menjadi kewajibannya memerlukan pengampunan pajak? Bangsa ini adalah bangsa besar, yang tak semestinya membutuhkan pengampunan pajak dalam membangun bangsa dan negaranya.

Pembangunan negara ini, sejatinya adalah kewajiban dan tanggung jawab kita bersama kepada negara, bukan kewajiban dan tanggung jawab Wajib Pajak kepada petugas pajak. Petugas pajak hanya representasi negara yang (bertugas) mengumpulkan dan meng-administrasikan pajak. Saat ini, negara sedang membutuhkan kepedulian kita untuk bersama membiayai dan membangun bangsa dan negara, agar bangsa dan negara ini mampu tumbuh menjadi bangsa dan negara yang hebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun