Mohon tunggu...
Sun-Shines
Sun-Shines Mohon Tunggu... -

You Can Not Manage What You Can Not Measure

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa Besar yang Tak Semestinya Butuh Tax Amnesty

18 April 2016   08:25 Diperbarui: 18 April 2016   08:35 2715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nyata terlihat sejak Jokowi dilantik menjadi presiden di akhir tahun 2014 lalu, berbagai program pembangunan infrasruktur digalakkan dan digenjot sedemikian gencarnya. Dari pembangunan bandara udara, pelabuhan laut, jalan (tol/non tol), waduk/bendungan, rel kereta api, jembatan, hingga pembangunan daerah wisata. Semua menjadi jamak kita saksikan. Selain mendesain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang lebih ekspansif untuk pembangunan infrastruktur, Jokowi juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, tanggal 8 januari 2016, tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional pada 8 Januari 2016.

“Tahun ini selesai dibangun 27 pelabuhan laut, ada ekspansi ada yang pembangunan baru, dan kita harapkan akhir tahun tambah lagi 68 pelabuhan laut lagi. Ini tidak hanya di Papua tapi juga di Maluku, NTT, beberapa di Sulawesi," jelas Jokowi.

Jokowi rajin keliling Indonesia untuk memantau langsung pelaksanaan pembangunan infrastruktur di berbagai penjuru negeri, yang terus dipercepat pembangunannya. Kerja, kerja dan kerja.

Berikut ini adalah contoh infrastruktur yang sedang dibangun oleh Jokowi:

  1. Jalan trans Sumatera dengan konsep High Grade Highway (HGH) sepanjang 2.700 Km dari Aceh hingga Lampung dan pembangunan Light Rail Transit (LRT) Sumatera Selatan
  2. Pembangunan jalan di Kalimantan mulai dari Temajuk, Sambas, sampai Sei Ular, Nunukan, Kalimanta Utara, serta jalan tol Balikpapan-Samarinda.
  3. Pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, dengan Kapasitas 2.000 Megawatt (MW) dan program elektrifikasi 50 lokasi di pulau terdepan dan di daerah yang berbatasan dengan negara tetangga
  4. Pembangunan jalur LRT rute Cibubur-Cawang, Bekasi Timur-Cawang, Cawang-Dukuh Atas dengan 18 stasiun, dan rute Cibubur-Bogor, Dukuh Atas-Palmerah-Senayan, Palmerah Grogol.
  5. Pembuatan kereta api Trans Sulawesi dari Manado -Makassar yang direncanakan mempunyai 23 stasiun
  6. Tol Trans Papua yandirancang sepanjang 4.320.Km (Sorong-Manokwari-Wamena-Jayapura-Merauke, Timika-Oksibil) yang direncanakan akan tersambung pada tahun 2018, serta pembangunan pelabuhan laut di Papua (Sorong, Manokwari, Jayapura dan Merauke)
  7. Pembangunan 15 bandara baru di wilayah terluar Indonesia, diantaranya bandara di Miangas, Manokwari, Berau, Tual, Palu, Maumere, Tarakan, Aceh Tengah, Wakatobi , dll
  8. Pembangunan 49 waduk/bendungan hingga tahun 2019 di seluruh Indonesia, dan 8 di antaranya direncanakan selesai tahun ini
  9. Pembangunan 10 destinasi pariwisata yang ditargetkan menjadi prioritas kunjungan wisatawan mancanegara

Pembangunan infrastruktur yang luar biasa tersebut tentu akan membawa dampak yang positif bagi kemajuan Indonesia. Baik dari segi ekonomi dan sosial politik, maupun dari segi ketahanan dan keamanan. Hal inipun disambut baik masyarakat luas, utamanya dari para pelaku usaha, karena keberadaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, secara otomatis menurunkan biaya angkut barang (logistic cost). Dengan pembangunan infratruktur seperti itu pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu pengentasan kemiskinan.

Namun darimana pemerintah mendapatkan dana yang cukup untuk pembiayaannya jika penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung penerimaan negara masih tersengal-sengal? Penerimaan pajak hingga akhir kuartal I baru menyentuh angka 16,19 persen dari target sebesar Rp. 1.360,2 triliun, melorot 4 persen dibanding kuartal I tahun 2015. Apakah negara harus utang lagi (dan lagi)? Total utang Indonesia per Februari 2016 saja telah menembus Rp 3.196,61 triliun!

Panama Papers dan Diskursus

Belum lama ini dunia digegerkan dengan bocornya jutaan data finansial sebuah firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca. Data sebesar 2,6 terabita yang disebut dengan Panama Papers itu memuat jutaan nama, termasuk ribuan nama warga Indonesia, yang mempunyai perusahaan investasi atau perusahaan cangkang (data offshore leaks) di negara-negara suaka pajak (tax haven countries). Beriringan dengan beredarnya Panama Papers, Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah telah memegang data rinci lebih dari 6.000 nama warga negara Indonesia yang menyimpan dana di luar negeri yang bernilai lebih dari Rp 11.400 triliun, lebih lengkap daripada Panama Papers. Data rinci ini berupa nama, bank, nomor rekening, serta fotokopi paspor.

Dengan besarnya data seperti itu, tentunya harapan pemerintah dan publik agar target penerimaan pajak tahun 2016 dapat dipenuhi sangat tinggi sekali. Namun sayangnya, antara dokumen finansial yang dimiliki pemerintah dengan penerimaan pajak bukanlah hal yang linier. Tergantung dari bagaimana cara yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak, untuk menindaklanjutinya. Masih banyak etape yang harus dilalui agar dokumen tersebut menjadi uang pajak yang harus dibayar.

Kita tentu masih ingat tatkala pemerintah mempublikasikan bahwa selama 10 tahun ini hampir 2.000 perusahaan dengan status PMA (Penananaman Modal Asing) tidak pernah membayar pajak, dengan alasan masih rugi. Pemerintah-pun mengklaim telah memiliki data tentang perusahaan-perusahaan seperti ini. Namun hingga tulisan ini dibuat belum terdengar lagi bagaimana kelanjutan ceritanya. Apakah dari 2.000 perusahaan tersebut telah mulai ditindaklanjuti, ataukah baru sebatas bahan diskursus.

Belum lagi jika disinggung maraknya perusahaan-perusahaan e-commerce dan over the top, serta terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 39/PMK.03/2016 tanggal 22 Maret 2016, tentang penggalangan data perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya, maka tentu akan semakin menambah panjang deretan data yang dimiliki pemerintah, yang menanti langkah konkret Ditjen Pajak.

Memang tidak mudah untuk mengubah dokumen pajak menjadi penerimaan pajak, tapi bukan hal yang mustahil. Pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti seluruh data yang telah menjadi perhatian publik tersebut, baik yang terkait dengan Panama Papers dan 6.000 data lainnya, maupun data 2.000 perusahaan PMA dan data perusahaan e-commerce, selambatnya akhir bulan depan agar potensi pajak yang terkandung dalam data tersebut dapat segera digali dan menjadi penerimaan pajak, sebelum tahun 2016 ini berlalu.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah: dengan desain dan konstruksi Ditjen Pajak seperti sekarang ini, apakah Ditjen Pajak mampu menyelesaikan data/dokumen yang menggunung seperti itu dengan segera agar mampu mensupport program Jokowi?

Era sekarang adalah era digital high technology yang mampu memaksa jaman berubah dengan cepat. Jika tidak mampu beradaptasi dengan perubahan jaman maka dipastikan akan terjungkal. Kita sudah saksikan deretan perusahaan raksasa dunia yang merajai pasar di masa lalu, misal Nokia, Siemens, Sony, Ericsson, Motorola, Kodak, MGM, Avon, Chrysler, Toshiba, dlsb, yang tumbang karena terlambat beradaptasi. Jika Ditjen Pajak adalah sebuah korporasi swasta, apakah akan senasib dengan perusahaan-perusahaan tersebut karena dalam kurun 10 tahun terakhir selalu kedodoran dalam mengamankan penerimaan pajak?
 

Tax Amnesty Bukan Jawaban

Saat ini, pemerintah sedang menantikan terbitnya UU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty untuk mengakselerasi penerimaan pajak. Tax Amnesty memang salah satu program yang ditujukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun ini, sekaligus menarik dana yang parkir di luar negeri, termasuk di kawasan suaka pajak.

Program ini sendiri masih mengundang pro-kontra, dan penulis lebih condong kepada pendapat yang kontra. Menurut hemat penulis, yang diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak bukan program Tax Amnesty, tetapi peningkatan kemampuan Ditjen Pajak dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum, dari pemeriksaan hingga penagihan. Ini lebih utama. Penegakan hukum yang kuat, fair dan massive akan lebih menjanjikan daripada Tax Amnesty. Semakin besar kemampuan Ditjen Pajak, semakin besar pula pajak yang akan diperoleh negara.

Tax Amensty bahkan dikhawatirkan akan membawa efek negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak di masa yang akan datang. Selain itu pula, jika Tax Amnesty diarahkan untuk menarik dana besar yang di parkir di luar negeri, masih diragukan efektifitasnya. Bisa jadi Tax Amnesty hanya akan dimanfaatkan untuk membayar sejumlah pajak saja, tetapi dananya masih utuh di parkir di luar negeri, tidak ada investasi yang masuk. Namun jika arah utamanya adalah untuk menambal penerimaan pajak tahun 2016 sekitar 60-100 triliun, maka kebijakan Tax Amnesty memang tepat.

Tak Semestinya Bangsa Ini Membutuhkan Tax Amnesty

Saat krisis moneter tahun 1997-1998 melanda Korea Selatan, pemerintahan Kim Young Sam mengajukan utang kepada International Monetary Fund (IMF) sebesar US $ 57 miliar. Oleh warga Korea, utang ini disebut sebagai ‘jalan keluar terburuk dan membawa malu negara’. Untuk segera lepas dari cengkeraman utang itu pemerintah Korea Selatan memberlakukan aturan ketat yang melarang pemberian kredit secara mudah kepada para chaebol (taipan). Warga Korea Selatan berbondong-bondong untuk mendonasikan perhiasan emasnya. Para wanita kaya menyumbangkan cincin kawinnya, dan para atlet menyumbangkan trofi dan medali-medali emasnya kepada negara untuk dilebur menjadi emas batangan (ingots). Bahkan mereka rela antri berjam-jam untuk melakukan hal patriotik itu!

Tak lebih dari satu minggu kemudian, telah terkumpul emas sebanyak 8 metrik ton, dan dalam waktu kurang dari 5 tahun pemerintah Korea Selatan telah melunasi utangnya kepada IMF, atau 3 tahun lebih cepat dari tanggal jatuh tempo. Sekarang, Korea Selatan telah menjelma menjadi negara modern yang ekonominya menduduki peringkat terbesar kedua belas berdasarkan PDB dan ekspornya kedelapan terbesar di dunia. Itu yang terjadi di Korea Selatan, bagaimana dengan Indonesia? Apakah hanya untuk membayar pajak yang sudah menjadi kewajibannya memerlukan pengampunan pajak? Bangsa ini adalah bangsa besar, yang tak semestinya membutuhkan pengampunan pajak dalam membangun bangsa dan negaranya.

Pembangunan negara ini, sejatinya adalah kewajiban dan tanggung jawab kita bersama kepada negara, bukan kewajiban dan tanggung jawab Wajib Pajak kepada petugas pajak. Petugas pajak hanya representasi negara yang (bertugas) mengumpulkan dan meng-administrasikan pajak. Saat ini, negara sedang membutuhkan kepedulian kita untuk bersama membiayai dan membangun bangsa dan negara, agar bangsa dan negara ini mampu tumbuh menjadi bangsa dan negara yang hebat.

 

Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku” ― Mohammad Hatta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun