Mulih Mula Mulanira sebuah perenungan memaknai kembali realitas Mudik Lebaran dan Ritus 'Iedul Fitri.
Ada satu tradisi yang cukup unik dan khas dalam negeri kita ini. Yakni tradisi mudik lebaran dalam merayakan ‘Iedul Fitri. MudikLebaran sudah menjadi satu tradisi. Tradisi mudik Lebaran dalam masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sangat mengesankan, mencengangkan, sekaligus sangat merepotkan terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan. Setiap tahun menjelang Lebaran (Idul Fitri), orang dalam jumlah jutaan manusia seakan ‘digerakkan’ oleh suatu kekuatan luar-biasa dari satu tempat—metropolis—yang dianggap sebagai tempat mancari nafkah ke suatu tempat—kampung halaman lain yang disebut sebagai tempat asal-muasalnya.
Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerak dalam jumlah yang sangat menakjubkan sehingga budayawan terkemuka dari Ngawi, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik Lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya”. Fenomena mudik Lebaran ini nyaris merupakan suatu keajaiban karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerak massa manusia.
'Mudik'dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan "Citra Umbara" Bandung (1997) diartikan berlayar ke hulu, pulang kampung. Dalam Falsafah Jawa ‘Mudik’ mengingatkan kepada kita bahwa hidup adalah sebuah "perjalanan". Ungkapan yang sangat umum "Sangkan paraning dumadi"—mengingatkan manusia di dunia ini harus memahami dari mana "asal", akan ke mana "tujuan" dan "akhir" perjalanan hidupnya dengan benar—kasampurnaning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat). Inilah makna dari ‘eling purwaning dumadi. Mulih mula mulanira’.
‘Iedul Fitri (Iedul=Kembali);(Fitri dari kata Fitrah=Asal Mula). dengan demikian, Iedul Fitri berarti kembali kepada fitrah atau kembali kepada asal mula diciptakannya manusia.
Kembali kepada fitrah atau kembali kepada asal mula diciptakannya manusia ini, sering kita memaknai kembalinya manusia kepada kondisi suci bak bayi yang baru lahir. dalam hal ini, manusia kembali dalam kondisi suci setelah menjalankan Iedul Fitri. pemaknaan ini berdasarkan pada rancangan awal Tuhan mengenai diri kita (manusia). bahwa kita diciptakan Tuhan dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral. konsep ini terkait dengan Hanief, yang artinya suatu sifat dalam diri kita yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran.
Dalam konteks saat ini, kembali kepada fitrah asal mula penciptaan manusia dapat dimaknai sebagai seperti apa asal mula manusia diciptakan oleh Tuhan.
1.Manusia ada dengan membawa cikal-bikal pluralitas. kembali kepada fitrah, seharusnya kita mulai sadar kembali bahwa manusia terlahir dengan pluralitas sesuai dengan kekhasan masing-masing.so, menyadari kemudian menerima dengan tulus terhadap warna-warninya kehidupan dan hidup itu sendiri.
Pluralitas adalah realitas. Perbedaan adalah kasunyatan.
Pluralitas adalah real. Ketika kita“emoh”dengan realitas ini, dan kemudian ketika kita mencoba berusaha sekuat tenagauntuk menghilangkan pluralitas dengan mencoba menghomogen-kan. Ya jelas, justru akan memunculkan permasalahan. Melawan realitas hidup berarti melawan hukum alam. Menghindari pluralitas berarti menghindari dan menolak hukum Tuhan itu sendiri. Sementara Allah berfirman (dalam terjemahan bebas) saya “kalaupun Tuhan itu berkehendak akan menghomogenkan umat manusia ini, maka sebenarnya Tuhan itu bisa. Tetapi justru Tuhan berkehendak lain, membiarkan umat manusia ini dalam pluralitas”.
2.Manungsa gone roso. dalam pasemon jawa sering kita dengar "yen dijiwit loro, ojo njiwit". kembali kepada roso sejati akan mengurangi diri yang penuh dengan label dan identitas ini.dalam khasanah psikologi, ketika kita belum mampu kembali kepada roso sejati maka kita masih akan menuankan ego(aku sing isih kebak embel-embel).
kita sebagai manusia harus berusaha sampai kepadaraos samining ngagesang.Kita harus sampai di wilayahraos sami; rasa padaterhadap sesama. Kita terkadang dalam hidup ini selalu melihat di luar diri kita,nyawang wong liya lan nyawang kahanan njabadalam Jawa. Suatu saat kita punya anggapan bahwa ”wah,…ketok’e dadi wong Islam kok penak yo. Khusyuk ning masjid. Cedhak karo Gustialah. Sajak’e kok wong Islam sing kaya mangkana mau, ora nduwe rasa susah. Uripe ayem. Rasane tentrem”.
Atau juga misalnya kita menganggap, “dadi umat Budha ki sajak’e kok pinuk yo. Urip enek’e mung meditasi, semedhi. Sajak’e kok wong Budha sing kaya mangkana mau, ora nduwe rasa susah. Uripe ayem. Rasane tentrem”. Bisa juga contoh lain, “wah,…penak yo dadi wong sing sugih duit. Iso nduwe mobil. Samubarang kebutuhan urip iso kecukupan. Hmmm…Sajak’e kok dadi wong sugih duit sing kaya mangkana mau, kok ora nduwe rasa susah. Uripe ayem. Rasane tentrem”. Dan lain sebagainya anggapan-anggapan kita,sawangankita terhadapwong liyadankahanan njaba.
Raos Samimenika raos ingkang sami ingkang manggen wonten ing saben tiyang. “Rasa sama” itu adalah “rasa sama” yang ada pada setiap orang. Apa “rasa sama” itu? Menapa ta raos sami menika? Inggih menika raos bungah lan raos susah. Raos samining ngagesang menika inggih namung raos bungah lan raos susah. Menika raos samining ngagesang. Mila urip menika gih namung gek bungah gek susah. Pramila urip menika Langgeng Bungah-Susah. “rasa sama” dalam hidup ini sama setiap orang, ya cuma rasa senang dan susah. Karena itu hidup ini sebenarnya abadi dalam rasa senang dan susah.
Ketika kita sudah sampai kepada “rasa sama” ini, maka kita akan keluar dari nerakanyawang wong kiya lan nyawang kahanan njabaini tadi. Sehingga kita akan keluar dari anggapan-anggapan seperti contoh-contoh di atas. Seorang Presiden pun, tetap ia hanya punya “rasa sama” senang dan susah. Seorang yang miskin(sekeng; mlarat)pun juga punya “rasa sama” senang dan susah. Siapapun dan apapun diri kita, tetap memiliki “rasa sama” senang dan susah. Jangan dianggap orang yang miskin(sekeng; mlarat)hidup mereka nistha; cilaka; dan tidak pernah bungah. Mereka juga punya rasa bungah-susah. Begitu juga jangan punya anggapan bahwa orang yang kaya, banyak uang, nduwe panguasa itu tidak pernah susah seolah hidupnya cuma punya rasa senang. Mereka juga punya rasa susah. Hanya saja, ukuran yang membuat rasa senang-susah inilah yang berbeda pada setiap orang.
Raos samiinilah yang kemudian akan membuahkan penghormatan dan penghargaan kepada siapapun dan apapun. Dariraos samiinilah, akan muncul rasa cinta kepada sesama. Siapapun kau,…apapun kau,…kau adalah manusia. Dan aku cinta kau.
3.kembali kepada asal mula penciptaan manusia, dapat kita maknai kita terlahir sebagai manusia—orang lainpun juga terlahir sebagai manusia.dalam konteks hati nurani, tidak ada yang lebih mengenakkan hidup kita selain kita berperilaku memanusiakan manusia.ada satu senthilan dalam bahasa jawa,"sing sopo nglarani tanggane dewe, podo karo njiret gulune dewe".
Bala man aslama wajhahu lillahi wa huwa muhsinun, falahu ajruhu ‘inda robbihi wala khoufun ‘alihim wala hum yahzanuun“ (2:112).
Selamat 'Iedul Fitri 1432 H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI