HILANG
Sejak gunung Kendil terbakar, keberadaan Joko tidak jelas. Ada yang mengatakan Joko telah tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Seorang pencari rumput mengaku  melihat Triono berjalan melayang di sekitar Goa Pertapan.
"Wajahnya gosong! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya". Ujar pencari rumput itu dengan wajah pucat.
Pengakuan itu segera menyebar ke seluruh pelosok kampung. Umumnya orang-orang percaya, Joko telah tewas. Namun Tari yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Tari berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan meyajikan bubur sumsum kesukaan Joko. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Triono. Dada Tari mengembang.
Setiap kali teringat akan suaminya. Ada gurat penyesalan yang datang menyeruak dalam dadanya. Tari menjadi pendiam. Ia lebih sering menyendiri. Duduk termenung di beranda rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Lantainya masih terbuat dari tanah liat. Ada amben (tempat tidur dari bambu) yang sudah mulai rusak, mengisi sudut teras yang hanya berukuran 11 x 2 meter itu.
Masih terekam jelas dalam otaknya, peristiwa yang menyebabkan Joko itu menghilang.
***
Sudah seminggu Tari tidak menegur suaminya sama sekali. Penyebabnya hanya sepele, Joko memarahinya karena setiap hari hanya sibuk dengan handphone-nya sendiri.
"Kau matikan sendiri Hp nya, atau aku banting!". Ancam Joko suatu ketika.
"Kamu ini kenapa to, Mas. Tiap hari kerjaannya marah-marah terus". Sanggah Tari .
"Kamu pikir saja sendiri, kenapa aku marah-marah!" jawab Joko. "Lelaki mana yang mau meladeni sms-mu, kalau bukan Langgeng, mantan pacarmu itu kan?" Tanya Joko menuduh.
Huhh!!! Setiap kali mendengar hal itu, Tari merasa ingin meludahi wajah suaminya dengan makian. Namun kemudian ia telan lagi ludah yang pahit itu. Ada kejutan di hatinya mendengar kata-kata Joko tadi, membentur dinding hatinya dan menyebar ke seluruh syaraf. Tari merasa perlu menarik napas, membiarkan udara yang dihisapnya itu membasahi kemarahannya.
Sejak saat itu pula, Tari tak lagi menegur suaminya. Bahkan ketika Joko mengutarakan niatnya untuk menjual tanah warisan orang tuanya yang di daerah Jambi. Tari tak menunjukkan respon sedikitpun.
"Dhek, tanah peninggalan Bapak yang di Jambi itu kita jual saja ya! Buat modal hidup di sini. Aku lebih senang tinggal di sini daripada di sana." Kata Joko menjelaskan maksudnya.
Tari beranjak pergi begitu saja. Tanpa sepatah katapun yang keluar kecuali sorot matanya yang acuh.
Waktu terus berganti, hingga genap satu minggu Tari mendiamkan suaminya. Joko diliputi perasaan tak karuan. Hatinya terombang-ambing tak menentu. Akalnya serasa putus untuk melunakkan hati istrinya yang membatu itu.
Di kampung ini, Joko bisa dikatakan sendiri. Kecintaannya terhadap Tari lah yang kemudian membuatnya meninggalkan tanah kelahirannya, Jambi, dan menetap di Jawa. Namun kini, satu-satunya orang yang menjadi alasan untuk keputusannya itu, tak menghiraukannya lagi. Hari-harinya menjadi sepi. Sorot matanya kosong. Ia benar-benar bingung.
Pagi belum sepenuhnya bangun, ketika Joko melangkahkan kakinya ke kaki gunung Kendil. Sejak menikah dengan Tari, tiga bulan yang lalu, di sanalah ia belajar bercocok tanam. Menggarap ladang orang tua Tari, perempuan yang sangat dicintainya itu. Ketika tengah hari barulah ia pulang.
Namun hari ini, sampai mahgrib menjelang, Joko belum juga menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Mertuanya menjadi sedikit gusar.
"Suamimu tadi kemana to nduk? Tumben jam segini kok belum pulang?" Tanya Pak Katiman kepada anak perempuannya.
 "Gak usah khawatir! Dia itu sudah besar. Nanti juga pulang sendiri", Jawab Tari tak peduli.
Sudah berlalu satu jam dari waktu masuknya sholat isya', namun belum juga ada tanda-tanda kepulangan Joko.
Sementara itu, di kamarnya, perlahan-lahan Tari menurunkan tangannya yang sibuk mencet keypad handphone-nya. Ada perasaan gundah yang tiba-tiba menyelinap di dadanya. Ia tidak bisa mendustai dirinya, bahwa ia pun mengkhawatirkan keberadaan suaminya itu.
  Tak berapa lama kemudian, terdengar suara gaduh di luar sana. Rupanya orang-orang telah berkumpul menyaksikan kaki gunung Kendil yang terbakar dari kejauhan. Tari dan kedua orang tuanya pun tak ketinggalan. Mereka mulai bertanya-tanya, siapa yang berani membakar kaki gunung itu malam-malam begini, dan bagaimana dengan tanaman mereka, selamatkah atau ikut terbakar juga. Â
Tari semakin gusar karena peristiwa itu. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah suaminya tidak pulang malam ini karena membakar ladang di kaki gunung itu? Makan apa dia seharian di sana? Dia tak pernah membawa bekal selain air minum? Itu pun hanya satu botol Aqua bekas ukuran 600 ml. Tidur di mana ia malam ini? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Sehingga ia tidak pulang? Dan segudang pertanyaan lain yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Keesokan harinya, ketika mentari masih malas bangun. Pak Katiman dan bebarapa orang penduduk kampung pergi melihat ladangnya yang terbakar semalam. Mereka tercengang melihat kondisi tanaman mereka yang berubah menjadi abu-abu hitam. Semuanya ludes dilahap api. Bahkan gubuk satu-satunya yang terletak di antara ladang-ladang tersebut pun habis tak tersisa.
Pak Katiman mulai bertanya keberadaan menantunya. Beberapa warga kampung pun ikut mencarinya. Mereka memanggil-manggil nama Joko.
" Ko....., Ko....., Joko!" Teriak warga berulang kali.
Namun tidak satu pun dari mereka yang mendengar suara Joko menjawab panggilan itu. Hingga tengah hari, pencarian mereka tak membuahkan hasil. meraka pulang dengan tangan kosong.
Melihat ayahnya pulang sendiri, Tari menanyakan suaminya.
" Mas Joko mana, Pak? Kok gak ikut pulang?" Tanya Tari khawatir.
"Aku sudah mencarinya sampai Goa Pertapan bersama tetangga, tapi suamimu gak ada nduk". Jawab Pak Katiman lemas.
 Mata Tari mulai berkaca-kaca. Semalaman ia tak bisa tidur. Pikirannnya terus tertuju pada suaminya. Ia mulai menyesal telah memusuhi suaminya sendiri. Kini ketika suaminya tak berada di sisinya, barulah ia menyadari betapa berharganya suaminya itu.
Pak Katiman, dibantu beberapa warga terus melakukan pencarian terhadap Joko. Beberapa orang dukun pun di datangkan demi melihat keberadaan menantunya itu. Â Namun tak satupun dari mereka yang mampu menunjukkan keberadaan Joko.
"Ditunggu saja, Pak. Dia sedang berjalan-jalan dengan neneknya". Kata salah satu dukun tersebut.
                                       ***
 Tari terduduk di undak-undak rumahnya. Ia merasa begitu lelah. Angin malam menyibakkan rambut panjangnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Tari terkesiap sejenak. Dari jauh ia melihat secara samar seseorang memakai kaos oblong putih dengan celana selutut. Persis seperti yang dipakai suaminya ketika pergi ke ladang.  Dia tersenyum kemudian menghilang.   Â
                                    ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H