Sementara itu, di kamarnya, perlahan-lahan Tari menurunkan tangannya yang sibuk mencet keypad handphone-nya. Ada perasaan gundah yang tiba-tiba menyelinap di dadanya. Ia tidak bisa mendustai dirinya, bahwa ia pun mengkhawatirkan keberadaan suaminya itu.
  Tak berapa lama kemudian, terdengar suara gaduh di luar sana. Rupanya orang-orang telah berkumpul menyaksikan kaki gunung Kendil yang terbakar dari kejauhan. Tari dan kedua orang tuanya pun tak ketinggalan. Mereka mulai bertanya-tanya, siapa yang berani membakar kaki gunung itu malam-malam begini, dan bagaimana dengan tanaman mereka, selamatkah atau ikut terbakar juga. Â
Tari semakin gusar karena peristiwa itu. Dalam hati ia bertanya, mungkinkah suaminya tidak pulang malam ini karena membakar ladang di kaki gunung itu? Makan apa dia seharian di sana? Dia tak pernah membawa bekal selain air minum? Itu pun hanya satu botol Aqua bekas ukuran 600 ml. Tidur di mana ia malam ini? Apakah sesuatu yang buruk telah terjadi? Sehingga ia tidak pulang? Dan segudang pertanyaan lain yang ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Keesokan harinya, ketika mentari masih malas bangun. Pak Katiman dan bebarapa orang penduduk kampung pergi melihat ladangnya yang terbakar semalam. Mereka tercengang melihat kondisi tanaman mereka yang berubah menjadi abu-abu hitam. Semuanya ludes dilahap api. Bahkan gubuk satu-satunya yang terletak di antara ladang-ladang tersebut pun habis tak tersisa.
Pak Katiman mulai bertanya keberadaan menantunya. Beberapa warga kampung pun ikut mencarinya. Mereka memanggil-manggil nama Joko.
" Ko....., Ko....., Joko!" Teriak warga berulang kali.
Namun tidak satu pun dari mereka yang mendengar suara Joko menjawab panggilan itu. Hingga tengah hari, pencarian mereka tak membuahkan hasil. meraka pulang dengan tangan kosong.
Melihat ayahnya pulang sendiri, Tari menanyakan suaminya.
" Mas Joko mana, Pak? Kok gak ikut pulang?" Tanya Tari khawatir.
"Aku sudah mencarinya sampai Goa Pertapan bersama tetangga, tapi suamimu gak ada nduk". Jawab Pak Katiman lemas.
 Mata Tari mulai berkaca-kaca. Semalaman ia tak bisa tidur. Pikirannnya terus tertuju pada suaminya. Ia mulai menyesal telah memusuhi suaminya sendiri. Kini ketika suaminya tak berada di sisinya, barulah ia menyadari betapa berharganya suaminya itu.